Jerat Fakta | Manokwari – Undang-Undang Otonomi Khusus memberikan kewenangan khusus kepada daerah-daerah tertentu di Indonesia untuk mengelola sebagian urusan pemerintahan yang biasanya menjadi wewenang pemerintah pusat. Hal ini bertujuan untuk memperhatikan kekhususan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Beberapa daerah yang mendapatkan otonomi khusus antara lain Aceh dan Papua. Undang-Undang ini memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah tersebut dengan memperhatikan karakteristik dan keberagaman masyarakat setempat.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Yan Christian Warinussy SH menjelaskan bahwa, Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang telah diberlakukan sebagai “cantolan politik” tanah Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah sangat layak dievaluasi kembali kedudukan dan kekuatan hukumnya dalam melindungi hak-hak politik Orang Asli Papua (OAP).
“Dasarnya dapat dibaca pada konsideran menimbang pada huruf a sampai dengan huruf, i Dimana di dalamnya antara lain, pada huruf j yang berbunyi : ,….”bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk Asli Papua.” Di samping itu, pada konsideran menimbang huruf f disebutkan : ,…”bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua (Tanah Papua) selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua (Tanah Papua), khususnya masyarakat Papua, ” katanya. Senin (11-03-2024).
Itulah sebabnya pada konsideran menimbang huruf h disebutkan : ,…”bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua (tanah Papua) dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua (Tanah Papua), diperlukan adanya kebijakan khusus dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Konsideran huruf i memperkuat rancang bangun tersebut : ,…”bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara”.
Fakta masalah diatas terlihat sama sekali diabaikan dalam proses politik melalui media pemilihan umum (pemilu) yang telah berakibat banyak Orang Asli Papua (OAP) sebagai calon legislatif (caleg) mengalami proses marginalisasi saat ini.
Kiranya Negara dan Pemimpin Daerah di Tanah Papua dapat melihat hal ini sebagai perekat dalam menjaga integritas NKRI dan Tanah Papua di dalamnya pada proses pembangunan dan pemerintahan di masa mendatang.
“Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari saya melihat bahwa evaluasi riil penting dan segera dilakukan atas persoalan tersebut, ” tutup Yan Christian Warinussy.