Jerat Fakta | Manokwari – Michael Rockefeller, anak laki-laki gubernur kota New York, Nelson Rockefeller, yang berumur 23 tahun, hilang di wilayah pantai di selatan Tanah Papua pada tanggal 18 November 1961, ketika dia sedang mengumpulkan artefak untuk museum Bapaknya.
Ketika itu, media di seluruh dunia menulis bahwa orang-orang kanibal di Irian Barat sudah memakan Michael Rockefeller, “memakan dagingnya di pantai dengan sagu” (sebagaimana ditulis Greg Poulgrain, dalam bukunya Bayang-bayang Intervensi, Perang Siasat John F.Kennedy dan Alen Dules atas Sukarno, halaman 228).
Padahal berdasarkan hasil wawancara antara Poulgrain dengan Rene Wassing, seorang antropolog muda dari Belanda pada Biro Urusan Pribumi di Holandia, dia (Wassing) menerangkan bahwa dirinya bersama Rockefeller saat itu (1961) sedang dalam perjalanan naik kapal di sepanjang garis pantai selatan di Papua, mereka disertai 2 (dua) orang polisi Papua.
Rockefeller dan Wassing sedang mengumpulkan pahatan dari masyarakat Asmat, yang nantinya akan diperlihatkan di Museum Seni di New York.
Dari catatan Poulgrain dalam bukunya itu disebutkan bahwa Wassing yang adalah rekan Rockefeller justru menerangkan bahwa kapal yang mereka tumpangi terbuat dari 2 (dua) buah kano yang diikat.
Rockefeller menambah sebuah papan rata di bagian atas perahu, sehingga menyebabkan sampan susah diarahkan, sebab keseimbangannya terganggu, dan ditambah atap untuk berteduh.
Singkat cerita, ketika hendak memasuki sungai Einlanden dari arah muara musibah karena arus sungai ke muara menyebabkan kapal mereka miring dan pada gilirannnya terbalik. 2 (dua) orang polisi memutuskan untuk berenang ke tepian guna mencari pertolongan.
Sedangkan Wassing dang Rockefeller memutuskan untuk tetap berpegang dan mengapung dengan kapalnya yang sudah dalam posisi terbalik sambil menunggu bantuan.
Ternyata keesokan paginya menurut keterangan Wassing kepada Poulgrain bahwa Rockefeller memutuskan untuk berenang meninggalkan kapal bersama Wassing yang masih berada disana.
Diperkirakan jarak posisi mereka (Wassing dan Rockefeller) sekitar 32 kilometer saat itu, karena kata Wassing : “kami tidak melihat daratan di arah mana pun”. Tangki bensin motor yang awalnya dimaksudkan untuk mengapung, satu Minggu kemudian ditemukan dicuci di daratan, jauh dari garis pantai. Rockefeller tidak ditemukan.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa Rockefeller kemungkinan mati karena tenggelam di laut, bukan karena dibunuh oleh kaum kanibal di Papua bagian Selatan saat itu. Jadi label bahwa Orang Papua suka makan orang (manusia) saat itu cukup menjadi pengaruh bahwa Orang Papua masih dalam suasana primitif, sehingga berita bohong tersebut menjadi alat politik saat itu untuk menyangkal penentuan nasib sendiri bagi Orang Asli Papua.
Keterangan panjang tersebut disampaikan oleh Yan Christian Warinussy kepada media melalui pesan tertulis. Jumat (09/08/2024).
Menurutnya, Senin (5/8) tersebar berita adanya seorang pilot helikopter berkebangsaan Selandia Baru yaitu Glen Malcolm Conning, tewas tertembak oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan pesawat helikopter milik maskapai penerbangan PT.Intan Angkasa Air Service tersebut dibakar.
“Sayang sekali karena “hembusan” berita tersebut hanya ditampilkan oleh anggota TNI dan Polri di Tanah Papua. Belakang muncul rekaman video dan foto bahwa diduga keras pilot asal Selandia Baru tersebut ditembak bukan oleh anggota TPNPB atau KKB seperti yang sudah diberitakan di berbagai media sosial, ” kata Warinussy.
Apalagi ada rekaman gambar atau foto kalau tubuh Pilot Glen Malcolm Conning terlihat duduk dan bersandar muka atau wajahnya di setir pesawat heli yang dikemudikan nya dari Timika menuju Alama Rabu (17/7).
“Artinya informasi versi TNI dan Polri bahwa pesawat yang dikemudikan oleh Conning telah dibakar oleh TPNPB telah terbantahkan, “ucapnya.
Selain itu, kenapa Conning harus menerima nasib soal mati pada saat-saat jelang dibebaskan nya pilot pesawat catatan milik maskapai Susi air lainnya yang disandera oleh TPNPB di bawah pimpinan Egianus Kogoya ? Kenapa juga pilot Collins dapat menerbangkan sendiri pesawatnya ke area yang masih termasuk dalam zona berbahaya atau zona perang antara kedua belah pihak yang bertikai selama ini (TNI, Polri dan TPNPB) ?
“Oleh sebab itu saya selaku Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP) mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar memerintahkan dan memimpin sendiri langkah penegakan hukum atas peristiwa kematian pilot tersebut Conning, ” ujarnya.
“JDP mendesak agar proses investigasi kriminal dipimpin oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Papua Irjen Polisi Mathius D.Fachiri serta disertai penyelidikan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dipimpin Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro, ” pungkasnya.
(Udir Saiba)