Jerat Fakta | Manokwari – Sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia yang pernah meraih penghargaan internasional John Humphrey Freedom Award pada tahun 2005 di Kanada, saya menyampaikan keprihatinan dan penyesalan mendalam atas pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, yang menyebut bahwa di Indonesia tidak ada pelanggaran HAM berat.
Penyesalan tersebut disampaikan oleh Yan Christian Warinussy SH kepada media melalui pesan tertulis. Selasa, (22/10/2024).
Menurut Warinussy, pernyataan tersebut dinilai sangat keliru dan tidak sesuai dengan fakta serta hukum hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia.
“Sebagai negara hukum dan demokrasi, Indonesia telah mengakui hak asasi manusia dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Warinussy, pernyataan Prof. Yusril dianggap tidak tepat, tidak proporsional, dan mempermalukan posisinya sebagai pejabat negara yang bertanggung jawab atas koordinasi kementerian terkait hukum, HAM, keimigrasian, dan pemasyarakatan.
“Sejak era reformasi, Indonesia telah mengadopsi banyak peraturan yang memuat nilai-nilai HAM, yang bahkan diakui dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ini menunjukkan betapa pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Dengan demikian, ucap Warinussy , pernyataan yang dikeluarkan oleh Menko Hukum dan HAM tersebut secara otomatis bertentangan dengan kerangka hukum yang sudah ada.
“Definisi pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 7, 8, serta 9 UU No. 26 Tahun 2000, seharusnya menjadi rujukan utama dalam penilaian isu-isu HAM di Indonesia. Oleh karena itu, saya meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi pernyataan ini dan memperbaiki sikap yang telah diambil oleh salah satu pembantunya tersebut,” Pungkasnya.
(Udir Saiba)