Proyek Drainase Padat Karya Diduga Fiktif, Diminta Kejaksaan Negeri Merauke Turun Tangan 

Jerat Fakta | Boven Digoel – Proyek pekerjaan drainase padat karya di Boven Digoel, Papua Selatan, yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat setempat, diduga fiktif.

Informasi ini disampaikan oleh seorang narasumber kredibel yang enggan disebutkan namanya kepada media. Sabtu, (08/02/2025).

Proyek ini menggunakan anggaran tahun 2021 dengan nilai sekitar 50 miliar di bawah naungan Kantor PJN Wilayah III Tanah Merah, dengan Kepala Satuan Kerja (Satker) Frangky Lapian saat itu. Seharusnya, proyek padat karya tidak bisa diberikan kepada kontraktor dan hanya diperuntukkan bagi masyarakat Merauke, khususnya Orang Asli Papua (OAP).

Namun, hasil pemeriksaan Inspektorat pada tahun 2022 menemukan bahwa proyek drainase tersebut tidak memiliki bukti fisik atau dianggap fiktif. Akibatnya, sejumlah pejabat, mulai dari bendahara hingga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dijatuhi sanksi berupa penurunan jabatan dan penonaktifan.

Ironisnya, Frangky Lapian, yang menjabat sebagai Kasatker kala itu, tidak mendapatkan sanksi apapun. Hal ini menimbulkan dugaan adanya permainan antara Frangky Lapian dan petinggi di Provinsi Papua Selatan.

Pada tahun 2023, Frangky Lapian disebut kembali melanjutkan proyek drainase yang sudah menjadi temuan Inspektorat, meskipun tanpa melibatkan masyarakat sekitar proyek.

Setelah proyek dilanjutkan, Frangky Lapian kemudian dipindahkan ke Bina Marga Provinsi Papua Selatan, sehingga menimbulkan dugaan bahwa ia ingin mencuci tangan dari permasalahan tersebut.

“Bendahara yang mencairkan anggaran tentu atas perintah atasan, dalam hal ini Kasatker. Seharusnya Frangky Lapian juga diberikan sanksi, bukan hanya PPK dan bendahara,” ungkap narasumber tersebut.

Salah satu pegawai di Kantor PJN Wilayah III Tanah Merah Boven Digoel membenarkan bahwa proyek tersebut memang sudah menjadi temuan Inspektorat.

Ketika dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Frangky Lapian belum memberikan tanggapan hingga berita ini diterbitkan.

Sumber juga mendorong agar Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) turun tangan untuk memeriksa temuan Inspektorat terkait proyek ini.

“Jika ditemukan adanya dugaan korupsi atau penyalahgunaan wewenang, maka Kejaksaan juga diminta untuk ikut menyelidiki kasus ini lebih lanjut,” pungkasnya.

Kasus ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan proyek padat karya di wilayah tersebut, terutama terkait anggaran yang tidak jelas dan indikasi praktik “cuci tangan” dari pejabat terkait.

Indikasi pengadaan fiktif dalam proyek infrastruktur jalan di wilayah Papua mencuat, diduga melibatkan Kepala Satuan Kerja (Satker), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) 2.1, dan PPK 2.3.

Dugaan ini diperkuat dengan berbagai temuan yang menunjukkan adanya penyimpangan dalam kegiatan swakelola di lingkungan Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Papua.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen, ditemukan bahwa tujuh paket pekerjaan swakelola tidak dilaksanakan sesuai prosedur, di antaranya:

Pengadaan Bahan CPHMA di lingkungan Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Papua (Merauke).

Pemeliharaan Rutin Kondisi Jalan Batas Kabupaten Boven Digoel/Merauke – Muting – Bupul.

Pekerjaan Box Culvert di ruas jalan Batas Kabupaten Boven Digoel/Merauke – Muting – Bupul.

Preservasi Jalan Bts. Kab. Boven Digoel/Merauke – Muting – Bupul (Rutin Jalan).

Preservasi Jalan Bts. Kab. Boven Digoel/Merauke – Muting – Bupul (Rutin Kondisi).

Preservasi Jalan Bts. Kab. Boven Digoel/Merauke – Muting – Bupul (Holding).

Dalam dokumen proyek, tidak ditemukan Surat Keputusan (SK) tentang Tim Swakelola yang sesuai dengan nama pekerjaan dalam paket-paket tersebut. Ketiadaan SK ini mengindikasikan bahwa proyek-proyek tersebut diduga fiktif atau tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Seharusnya, pekerjaan swakelola dilaksanakan oleh tim resmi yang ditunjuk dalam SK. Namun, dalam kasus ini, tim yang bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut tidak memiliki dokumen penunjukan yang sah, sehingga patut diduga ada manipulasi administrasi dan anggaran.

Dengan adanya temuan ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Aparat Penegak Hukum (APH) didesak untuk segera melakukan audit dan penyelidikan lebih lanjut guna memastikan apakah terjadi penyimpangan anggaran negara dalam proyek-proyek tersebut. Jika terbukti ada indikasi korupsi, maka pejabat yang terlibat harus diproses hukum sesuai peraturan yang berlaku.

Kasus ini kembali menyoroti persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam proyek infrastruktur di Papua, terutama dalam mekanisme swakelola yang rawan disalahgunakan oleh oknum tertentu demi keuntungan pribadi.

Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *