PT BSP Dinilai Tak Transparan, DPRK Teluk Bintuni Soroti Polemik Penguasaan Tanah Adat di Distrik Aroba

Teluk Bintuni, Jerat Fakta — Anggota DPRK Teluk Bintuni dari Fraksi Nasdem Dapil II, Adreas Nauri, menyoroti kehadiran PT Borneo Subur Prima (PT BSP) yang dinilai kurang melakukan sosialisasi dengan Pemerintah Daerah dan pemilik tanah adat sebelum memulai rencana investasi mereka di Distrik Aroba dan Sumuri.

Dalam wawancara yang dilakukan di Kantor DPRD Teluk Bintuni, Rabu (28/5/2025), Adreas Nauri mengaku prihatin atas proses yang dijalankan perusahaan tersebut. Sebagai putra asli Distrik Aroba dari Suku Irarutu, ia menegaskan bahwa hingga kini belum ada sosialisasi publik secara resmi oleh PT BSP kepada OPD terkait maupun lembaga adat 7 suku.

“Kami melihat pihak perusahaan tidak transparan. Padahal ini menyangkut tanah adat milik masyarakat yang sangat sakral dan harus dilibatkan proses pengambilan keputusannya,” tegas Nauri. Kamis, (29/05/2025).

Berdasarkan temuan lapangan bersama anggota MRP, LSM, dan mahasiswa Universitas Papua, diketahui bahwa tiga marga pemilik hak ulayat — Kasina, Susure, dan Motobri — telah menerima kompensasi dari PT BSP. Namun masyarakat baru menyadari bahwa tanah yang awalnya dikira disewakan, ternyata tertulis dalam dokumen sebagai pelepasan hak.

“Ini yang membuat masyarakat kecewa. Mereka pikir hanya menyewakan, tapi ternyata surat menyatakan pelepasan hak dan itu berarti berpindah kepemilikan,” jelas Nauri.

Perubahan status kontrak menjadi pelepasan tanah memicu kekecewaan masyarakat Aroba. Menurut Nauri, pihak perusahaan seolah ‘mengelabui’ pemilik tanah dengan tidak menjelaskan isi perjanjian secara rinci sebelum uang kompensasi diberikan.

Lebih lanjut, ia mengkritisi mekanisme penyusunan dokumen kerangka acuan HAMDAL (Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Sosial) yang seharusnya diawali dengan konsultasi publik dan keterlibatan aktif Pemerintah Daerah Teluk Bintuni.

“Saya sudah koordinasi dengan OPD teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup, Pertanian, dan PTSP. Ternyata mereka juga tidak tahu soal kehadiran perusahaan ini. Semuanya dikendalikan dari provinsi, dan ini sangat aneh,” ujar Nauri.

Selain menimbulkan polemik di tingkat lokal, kehadiran PT BSP juga membangkitkan trauma lama masyarakat terhadap perusahaan sawit sebelumnya, yakni PT Farita Maju Utama, yang dinilai menyisakan luka sosial dan ekologis.

“Ada 12 marga di Aroba, dan baru tiga marga yang menyerahkan lahan sekitar 11.000 hektare kepada PT BSP. Rencana pengembangan perusahaan mencapai 34.000 hektare, dan ini sangat luas. Jangan sampai ada pemaksaan,” tambahnya.

Nauri menegaskan, secara pribadi ia tidak menolak investasi. Namun ia mengingatkan bahwa pendekatan sosial dan hukum adat harus dikedepankan. “Kembalikan ke pemilik hak wilayah adat masing-masing. Jangan langgar prosedur dan jangan saling menyesatkan,” pungkasnya.

Ia mendesak PT BSP segera melakukan sosialisasi publik secara resmi di Kabupaten Teluk Bintuni dan membuka ruang dialog bersama masyarakat adat, Pemerintah Daerah, dan lembaga adat demi menjaga kepercayaan dan mencegah konflik horizontal.

(Roberto Yassie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *