Lindungi Hutan Adat, Marga Ateta Laporkan PT BSP ke Penegak Hukum

Bintuni, Papua Barat – Jerat Fakta –Kepala Marga Ateta, Benediktus Ateta, secara resmi melaporkan PT Borneo Subur Prima (PT BSP) kepada penegak hukum atas dugaan pelanggaran lingkungan dan adat di Distrik Sumuri dan Distrik Aroba, Kabupaten Teluk Bintuni.

Laporan ini dilayangkan karena perusahaan tersebut diduga melakukan kegiatan tanpa izin resmi dan tanpa persetujuan masyarakat adat.

Menurut Benediktus, PT BSP telah melakukan pengukuran tanah dan memfasilitasi perolehan lahan adat milik Marga Ateta dengan melibatkan oknum masyarakat tertentu.

Kegiatan itu terjadi pada 8 Mei 2025 tanpa keterlibatan para tokoh adat yang sah dan tidak diiringi dengan mekanisme konsultasi dan persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC).

Selain itu, pada 6 Mei 2025, PT BSP disebut membentuk Koperasi Plasma di Distrik Aroba, yang menurut Ateta, tidak memiliki dasar hukum karena belum ada dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi syarat utama untuk memulai aktivitas perusahaan berskala besar di wilayah adat.

Dalam pernyataannya melalui pesan WhatsApp kepada media Jerat Fakta di Manokwari (26/6/2025), Benediktus menegaskan bahwa belum ada Rekomendasi Lingkungan dari Bupati Teluk Bintuni yang seharusnya menjadi legalitas utama kegiatan tersebut. Maka, seluruh aktivitas yang dilakukan PT BSP dianggap cacat hukum.

“Kami sebagai komunitas adat merasa dirugikan. Proses pengambilalihan tanah terjadi secara sepihak. Hutan adat kami yang terakhir terancam musnah karena ulah perusahaan sawit ini,” ungkap Benediktus.

Ia menambahkan bahwa hutan adat Ateta bukan hanya sebidang tanah, melainkan ruang hidup.

“Itu tempat penting kami. Ada sumber air, pangan, dan tempat sakral leluhur kami. Kalau hutan itu hilang, kami harus hidup di mana?” katanya dengan suara penuh keprihatinan.

Menanggapi hal ini, kuasa hukum Marga Ateta, Musa Mambrasar, menegaskan bahwa PT BSP telah melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Menurutnya, perusahaan dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 109 UU tersebut.

“Pasal 109 menyatakan bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan diancam pidana 1 sampai 3 tahun penjara dan denda Rp 1 hingga 3 miliar. PT BSP jelas-jelas melanggar karena tidak memiliki AMDAL maupun izin lingkungan,” terang Mambrasar.

Ia menekankan bahwa kegiatan usaha tidak boleh dimulai jika belum ada persetujuan AMDAL.

Oleh karena itu, kami mendesak aparat penegak hukum untuk segera menyelidiki, menghentikan kegiatan, dan membawa pihak perusahaan ke jalur hukum demi perlindungan hak masyarakat adat,” pungkasnya.

(Udir Saiba)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *