Jerat Fakta | Manokwari, Papua Barat – Penasihat Hukum terdakwa Jhony Koromad, Yan Christian Warinussy, SH, menyampaikan keprihatinan atas isi surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Agung Satriadi Putra, SH, MH dari Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni. Warinussy menilai surat tersebut tidak mencerminkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
Surat tuntutan itu dibacakan dalam persidangan kasus dugaan korupsi pembangunan Jembatan Kali Wasian Tahap III pada Rabu (25/6/2025) di Pengadilan Negeri Manokwari Kelas I A. Terdakwa dalam perkara ini adalah Jhony Koromad dan Fredy Parubak.
Menurut Warinussy, surat tuntutan JPU sama sekali tidak mencantumkan keterangan penting dari kedua terdakwa yang telah saling memberikan kesaksian sebagai saksi mahkota pada sidang sebelumnya, yakni Rabu (18/6).
Dalam kesaksian terdakwa Fredy Parubak, disebutkan bahwa proses pencairan dana proyek—baik tahap pertama maupun tahap kedua—dilakukan oleh Mujiburi Anshar Nurdin, Direktur PT. Nusa Marga Raya, yang memiliki kendali penuh atas rekening perusahaan.
Warinussy menegaskan bahwa tidak pernah ada penyerahan kuasa direktur dari Mujiburi kepada siapapun, termasuk kepada terdakwa Fredy Parubak. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan dana proyek berada di tangan Mujiburi sepenuhnya.
Lebih lanjut, Parubak juga menyatakan bahwa Simon Dowansiba, Ketua DPRD Teluk Bintuni saat itu, menerima aliran dana proyek melalui dirinya. Uang itu diberikan oleh Mujiburi dan diminta oleh Dowansiba karena proyek tersebut dianggap sebagai “pokok pikirannya”.
Kesaksian Parubak bahkan mengungkap adanya permintaan dari Dowansiba agar dirinya menemui seseorang bernama David, yang kemudian menolak terlibat karena tidak ada SK Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atas proyek tersebut.
Sementara itu, terdakwa Jhony Koromad secara tegas menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menerima uang dari siapapun terkait proyek pembangunan Jembatan Kali Wasian. Semua biaya perjalanannya ke Jakarta dan Manokwari ditanggung oleh keluarga.
Koromad mengatakan, uang perjalanan itu dikirim oleh istrinya dari uang pribadi, bukan berasal dari dana proyek atau pihak lain.
“Saya tidak pernah terima uang dari siapapun dalam perkara ini,” tegas Jhony dalam sidang.
Namun, seluruh keterangan penting ini, menurut Warinussy, diabaikan oleh JPU dalam menyusun surat tuntutan. Akibatnya, istri dan keluarga Jhony Koromad merasa kecewa dan mempertanyakan integritas proses hukum yang sedang berlangsung.
“JPU seharusnya menyusun tuntutan berdasarkan fakta persidangan, bukan berdasarkan asumsi atau tekanan,” ujar Warinussy.
Ia menyebut hal ini sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Papua Barat.
“Majelis hakim yang dipimpin oleh Helmin Somalay, SH, MH, memutuskan menunda sidang dan menjadwalkan kembali pada Rabu (2/7) mendatang. Agenda sidang berikutnya adalah pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa Jhony Koromad dan penasihat hukumnya,” pungkasnya.
(Udir Saiba)