KontraS Bongkar Dugaan Manipulasi Perjanjian Tanah Adat oleh PT. BSP

Jerat Fakta | Betuni, Papua Barat – Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Lahan untuk pembangunan kebun kelapa sawit antara PT. BSP dan pihak tertentu dari Marga Ateta di Distrik Sumuri, Papua Barat, dinilai cacat hukum dan tidak sah oleh KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat.

Hal tersebut diungkapkan setelah tim KontraS bertemu langsung dengan Benidiktus Ateta, Kepala Marga Besar Ateta, di Kampung Agoda, Distrik Sumuri. Dalam pertemuan itu, Benidiktus menyatakan tidak pernah terlibat atau dilibatkan dalam proses kesepakatan dengan pihak PT. BSP.

“Sebagai Kepala Marga Besar Ateta, saya tidak pernah diajak bicara. Apalagi menyepakati kerja sama atau pelepasan tanah kami untuk perkebunan kelapa sawit,” tegas Benidiktus kepada KontraS dan media Jerat Fakta, Senin (30/6/2025) melalui pesan WhatsApp.

Ia bahkan menegaskan bahwa seluruh aktivitas PT. BSP yang masuk ke wilayah adat Marga Ateta tanpa persetujuan mereka adalah tindakan yang ditolak keras oleh komunitas adat.

“Masuk saja kami tidak izinkan, apalagi membangun kebun sawit. Kami tolak seluruh kegiatan PT. BSP di wilayah adat kami,” tambah Benidiktus.

KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat menilai bahwa perjanjian tersebut telah dibuat secara sepihak oleh perusahaan, tanpa partisipasi atau persetujuan kepala marga yang sah dan berwenang.

Berdasarkan hasil investigasi awal, perjanjian ini tidak memenuhi syarat-syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang mencakup kesepakatan, kecakapan hukum, objek yang jelas, dan sebab yang halal.

“Jika tidak ada kesepakatan dari pihak yang sah, perjanjian itu otomatis cacat hukum dan batal demi hukum,” ujar Koordinator KontraS Papua Barat, Mambrasar Musa.

KontraS juga menyebut bahwa PT. BSP diduga memanfaatkan dua orang dari keluarga Marga Ateta untuk memuluskan aktivitas sawit di wilayah tersebut.

Informasi mengenai dua anggota keluarga tersebut diperoleh dari masyarakat adat di Kampung Agoda. KontraS juga mengantongi bukti berupa foto penyerahan uang kompensasi dan dokumen kerja sama.

Masyarakat di Sumuri meyakini bahwa kedua orang tersebut tidak memiliki kewenangan hukum atau sosial untuk mewakili marga Ateta dalam perjanjian sebesar itu.

“Ini manipulasi. Perusahaan mencoba melegalkan aktivitasnya dengan menggandeng orang-orang yang tidak memiliki hak,” kata salah satu tokoh masyarakat setempat yang tidak ingin disebutkan namanya.

KontraS mengingatkan bahwa perjanjian yang dibuat tanpa melibatkan pihak yang sah tidak hanya cacat hukum, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.

“Perjanjian ilegal seperti ini membuka pintu bagi konflik agraria dan perampasan hak ulayat masyarakat adat,” tambah Mambrasar Musa.

KontraS juga meminta agar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum turun tangan untuk menghentikan segala aktivitas PT. BSP di atas tanah adat Marga Ateta.

“Masyarakat adat Papua memiliki hak konstitusional atas tanahnya. Negara wajib melindungi hak tersebut, bukan membiarkan perusahaan bertindak semena-mena,” tegasnya.

Lebih jauh, KontraS mendesak pemerintah provinsi Papua Barat agar meninjau ulang seluruh perizinan dan dokumen legalitas PT. BSP yang menyangkut tanah ulayat di Sumuri.

Selain itu, pihaknya mendesak Komnas HAM dan Lembaga Ombudsman untuk ikut melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran administratif dan pelanggaran HAM dalam kasus ini.

KontraS menegaskan akan terus mengawal proses ini hingga hak-hak masyarakat adat Marga Ateta dipulihkan dan perusahaan dihentikan kegiatannya secara permanen.

“Kami mendukung penuh perjuangan Marga Ateta. Tanah adat bukan untuk dijual, apalagi diambil paksa demi kepentingan korporasi,” tutup Mambrasar Musa.

(Udir Saiba)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *