Jerat Fakta | Sorong, Papua Barat Daya – Dewan Pimpinan Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Universitas Nusa Putra dengan tegas mengecam tindakan intoleransi yang terjadi di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Insiden tersebut menyita perhatian publik karena menyangkut pembubaran dan perusakan kegiatan retret umat Kristiani yang dilakukan secara damai.
Dalam pernyataannya, GMNI Universitas Nusa Putra menyatakan keprihatinan mendalam dan kemarahan atas kejadian yang dinilai sebagai pelanggaran berat terhadap nilai-nilai kebangsaan dan hak asasi manusia. Mereka menyebut tindakan tersebut sebagai ancaman serius terhadap kehidupan yang damai dan inklusif di Indonesia.
Alexander Sagisolo, selaku Ketua Bidang Kajian Indologi dan Isu Strategis DPK GMNI Universitas Nusa Putra, mengatakan bahwa segala bentuk intoleransi—baik karena agama, suku, maupun latar belakang sosial—adalah musuh nyata dari semangat kebangsaan yang diwariskan para pendiri bangsa.
“Peristiwa ini mencederai nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan serta mengancam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang damai,” ujar Alexander dalam pesan tertulis yang diterima media Jerat Fakta di Manokwari, Rabu (02/07/2025).
Sebagai organisasi perjuangan yang berlandaskan ideologi Marhaenisme, GMNI menyatakan bahwa tindakan intoleransi adalah bentuk kemunduran dalam kehidupan berbangsa. Menurut mereka, retret adalah kegiatan spiritual yang semestinya dihormati.
“Tindakan seperti ini melukai rasa kemanusiaan dan menjadi ancaman terhadap integrasi nasional. Marhaenisme mengajarkan kita menolak penindasan dan menjunjung kebebasan berkeyakinan,” tegas Alexander.
Dalam pernyataan sikap resminya, DPK GMNI Universitas Nusa Putra menyampaikan lima poin penting sebagai bentuk tanggapan keras terhadap insiden tersebut.
Pertama, GMNI mengutuk keras perusakan dan intimidasi terhadap kegiatan keagamaan umat Kristiani yang dilakukan secara damai dan tertib.
Kedua, mereka mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas insiden tersebut dan menindak tegas para pelaku sesuai hukum yang berlaku. GMNI juga menekankan pentingnya proses hukum yang transparan dan tidak diskriminatif.
Ketiga, GMNI meminta Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dan Pemprov Jawa Barat menjamin perlindungan dan rasa aman bagi seluruh umat beragama tanpa pandang bulu.
Keempat, mereka mendorong keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama lokal dalam menjaga kerukunan dan mengedepankan dialog.
Kelima, GMNI mengajak seluruh elemen masyarakat—terutama mahasiswa dan pemuda—untuk bersatu melawan segala bentuk intoleransi dan kekerasan berbasis agama.
Alexander menambahkan bahwa GMNI mendorong penguatan nilai-nilai kebangsaan dan pendidikan toleransi dalam kurikulum pendidikan nasional sebagai upaya jangka panjang.
“Peran aktif FKUB, tokoh agama, dan masyarakat sipil sangat penting dalam membangun ruang dialog, edukasi toleransi, dan saling menghormati,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa intoleransi bukan sekadar persoalan sosial, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan semangat kemerdekaan bangsa Indonesia.
“Indonesia dibangun di atas keberagaman, bukan keseragaman. Maka ketika keberagaman itu dirusak, kita sedang mengkhianati dasar negara,” lanjut Alexander.
Menurutnya, Indonesia bukan milik satu golongan atau agama, tapi milik seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke yang beragam secara keyakinan dan budaya.
GMNI menegaskan komitmen mereka untuk terus berada di garis depan perjuangan menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan persatuan bangsa.
Alexander menutup pernyataannya dengan seruan agar mahasiswa dan kaum muda tidak diam melihat tumbuhnya bibit-bibit intoleransi yang membahayakan masa depan bangsa.
“Menjaga keberagaman adalah bentuk nyata cinta tanah air,” tutupnya tegas.
(Marten Sreklefat)