KPU RI Dikritik, Komisioner Papua Barat Tak Cerminkan Keberpihakan Terhadap OAP

Jerat Fakta | MANOKWARI — Hasil akhir seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua Barat periode 2025-2030 yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pada 1 Agustus 2025 menuai sorotan tajam dari publik, terutama masyarakat asli Papua.

Sorotan itu datang dari Herzon Korwa, tokoh muda Papua yang menyoroti minimnya representasi Orang Asli Papua (OAP) dalam komposisi lima anggota KPU Papua Barat terpilih. Dari kelima nama yang diumumkan, hanya satu yang teridentifikasi sebagai OAP.

Berdasarkan Pengumuman KPU RI Nomor 6/SDM.02.6-Pu/2025 yang ditetapkan di Jakarta, lima nama yang ditetapkan sebagai anggota KPU Papua Barat adalah: Abdon Retraubun, Abdul Muin Salewe, Ady Murat, Endang Wulansari, dan Francis Edward Makabory.

“Dari lima nama tersebut, hanya satu yang merupakan OAP. Ini sangat mengejutkan dan mengkhawatirkan,” tegas Herzon dalam pernyataannya, Sabtu (02/08/2025).

Ia menyebut bahwa penetapan ini menunjukkan kurangnya keberpihakan terhadap semangat Otonomi Khusus Papua yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021.

Menurutnya, Otsus Papua secara tegas mengamanatkan perlakuan afirmatif kepada OAP untuk dapat mengisi jabatan publik strategis, termasuk sebagai penyelenggara pemilu.

Herzon menilai keputusan KPU RI ini justru menjadi kemunduran serius dalam implementasi prinsip-prinsip Otsus.

“Ini bukan soal jumlah semata. Ini tentang penghormatan terhadap hak-hak Orang Asli Papua untuk berpartisipasi secara aktif dan terwakili dalam proses demokrasi di tanahnya sendiri,” lanjutnya.

Sebagai bagian dari masyarakat adat dan generasi muda Papua, Herzon menyayangkan bahwa proses seleksi tidak mencerminkan kekhususan dan konteks lokal Papua yang diatur dalam kebijakan otonomi khusus.

“Kalau dari proses awal hingga penetapan akhir tidak ada keberpihakan yang jelas pada OAP, bagaimana kita bisa yakin Pemilu di Papua akan dikelola secara sensitif terhadap nilai-nilai dan kearifan lokal?” tanyanya.

Ia menegaskan, tuntutan keterwakilan OAP bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan wujud “diskriminasi positif” yang telah dijamin secara konstitusional dan ditegaskan melalui sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi.

Dalam konteks seleksi ini, Herzon juga mempertanyakan peran dan tanggung jawab Tim Seleksi calon anggota KPU Papua Barat. Menurutnya, perlu ada audit publik atas proses seleksi dan penilaian yang dilakukan, khususnya terkait keberpihakan pada mandat Otsus.

“Saya tidak menolak siapa pun yang terpilih. Tapi saya yakin ada banyak putra-putri Papua yang layak dan punya integritas tinggi untuk posisi itu. Pertanyaannya, apakah ada kemauan politik dari KPU dan Timsel untuk mencarinya?” ujarnya.

Ia menekankan, demokrasi di Tanah Papua harus dibangun di atas fondasi keadilan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat. “Kalau representasi OAP diabaikan dalam lembaga sepenting KPU, maka negara telah ingkar terhadap janjinya dalam Otsus,” ucapnya tegas.

Herzon meminta agar KPU RI mengevaluasi kembali hasil seleksi ini dan mempertimbangkan langkah-langkah afirmatif yang lebih nyata ke depan. “Kami butuh keterwakilan, bukan hanya janji,” pungkasnya.

Isu ini diprediksi akan menjadi perhatian serius berbagai elemen masyarakat sipil Papua, termasuk organisasi adat, aktivis HAM, hingga lembaga pemerhati demokrasi dan otonomi khusus.

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *