Sulfianto Alias Menang di Pengadilan, Tim Hukum Apresiasi Putusan Hakim

Jerat Fakta | Manokwari, — Sidang perkara pidana nomor: 91/Pid.B/2025/PN.Mnk di Pengadilan Negeri (PN) Manokwari Kelas I A resmi mencapai putusan pada Rabu (30/7). Lima terdakwa dalam kasus penganiayaan terhadap Direktur LSM Panah Papua, Sulfianto Alias, dijatuhi vonis pidana penjara masing-masing selama dua tahun.

Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Muslim Muhayamin Ash Shiddiqi, SH, MH menyatakan bahwa para terdakwa: Leonardo Fredz Asmorom, Frando Marselino Warbal, Markus Marlon Kurube, Benyamin Harrison Josias Manobi, dan Daniel Alan Samori terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan yang menyebabkan luka berat.

Putusan tersebut didasarkan pada dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum, yakni Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang kekerasan secara bersama-sama terhadap orang yang mengakibatkan luka berat.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim juga menetapkan bahwa masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani para terdakwa akan dikurangkan dari total hukuman pidana penjara yang dijatuhkan.

Lebih lanjut, Hakim memerintahkan agar kelima terdakwa tetap berada dalam tahanan, mengingat putusan telah dinyatakan dan mulai berlaku sejak dibacakan di ruang persidangan.

Sulfianto Alias yang merupakan saksi korban dalam perkara ini merupakan seorang aktivis lingkungan yang telah lama berjuang untuk kelestarian alam di Tanah Papua, khususnya dalam konteks advokasi masyarakat adat.

Tim Kuasa Hukum korban yang diketuai oleh Yan Christian Warinussy dari LP3BH Manokwari menyampaikan bahwa mereka menerima putusan ini sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum yang adil bagi para terdakwa.

“Para terdakwa telah melakukan kekerasan terhadap klien kami tanpa alasan hukum yang sah, tidak ada pembenar maupun pemaaf dalam tindakan mereka,” tegas Warinussy dalam keterangannya usai persidangan. Sabtu, (02/08/2025).

Ia juga memberikan apresiasi kepada Majelis Hakim yang telah teliti dalam membuktikan unsur-unsur pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, khususnya dalam konteks pembuktian secara materil di persidangan.

“Pasal 170 KUHP ayat (2) ke-1 adalah pasal yang berat, dan penerapannya dalam kasus ini menunjukkan bahwa tidak ada ruang toleransi bagi kekerasan terhadap aktivis sipil,” tambahnya.

Warinussy mengungkapkan bahwa kliennya Sulfianto mengalami luka berat dan trauma psikologis akibat kejadian tersebut. Maka dari itu, selain proses pidana, pihaknya juga tengah mempertimbangkan langkah hukum lanjutan untuk perlindungan hak-hak korban.

“Sebagai salah satu pejuang lingkungan, klien kami juga punya hak untuk mendapatkan jaminan perlindungan dari negara, dan kami akan terus mengawal proses ini,” ujar Warinussy.

Ia juga menekankan bahwa kasus kekerasan terhadap aktivis harus menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum dan masyarakat sipil. Perlindungan terhadap pembela HAM, termasuk aktivis lingkungan, adalah bagian penting dari sistem hukum yang adil.

Putusan ini, menurut Warinussy, juga diharapkan menjadi efek jera bagi siapapun yang mencoba menggunakan kekerasan sebagai alat intimidasi terhadap suara kritis masyarakat sipil di Papua.

Di akhir pernyataannya, Tim Kuasa Hukum menyatakan akan memantau pelaksanaan putusan dan memberikan pendampingan lanjutan terhadap korban dalam rangka pemulihan hak-haknya secara hukum dan sosial.

(Udir Saiba)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *