Jerat Fakta | Sorong — Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender/HRD) di Tanah Papua, Yan Christian Warinussy SH, mempertanyakan dasar hukum rencana Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sorong, Makrun, SH, MH, untuk memindahkan sidang perkara dugaan tindak pidana makar keempat tersangka dari Pengadilan Negeri Sorong ke Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A.
Menurut Yan, hingga kini belum ada alasan hukum yang kuat yang dapat membenarkan pemindahan lokasi persidangan empat tersangka tersebut. Keempatnya adalah Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nixon Maay, yang saat ini tengah menjalani proses hukum di Sorong.
“Dari sisi keamanan, Kota Sorong memiliki fasilitas dan satuan keamanan yang memadai. Ada Polresta Sorong dan kini juga Polda Papua Barat Daya yang bermarkas di Sorong,” kata Yan di Manokwari, Senin (11/8).
Ia menilai, pemindahan sidang justru akan merugikan para terdakwa dari sisi hak asasi manusia. “Klien kami sangat dekat dengan keluarga mereka di Sorong. Pemindahan sidang ke Makassar akan membuat mereka jauh dari dukungan keluarga, yang merupakan hak fundamental terdakwa,” tegasnya.
Dalam kapasitasnya sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan mengajak seluruh pembela HAM dan aktivis organisasi nonpemerintah (NGO) untuk melakukan advokasi bersama. Ia menilai, langkah Kajari Sorong ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Selain itu, Yan mendesak Wali Kota Sorong dan Gubernur Papua Barat Daya untuk tidak memberikan dukungan pendanaan bagi pemindahan sidang tersebut. Ia menilai, biaya perjalanan sidang ke Makassar bagi penuntut umum akan menjadi beban keuangan daerah yang tidak berdasar hukum.
“Penggunaan anggaran publik untuk membiayai langkah hukum yang bertentangan dengan prinsip keadilan harus dihentikan,” ujarnya.
Yan juga menyoroti bahwa kebijakan seperti ini dapat menjadi bentuk diskriminasi rasial terhadap masyarakat asli Papua. Ia menilai, praktik ini berpotensi membatasi ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi di Tanah Papua.
Menurutnya, fragmentasi langkah penegakan hukum semacam ini cenderung digunakan untuk membungkam suara-suara kritis. “Rakyat Papua Asli senantiasa mengalami diskriminasi melalui proses hukum yang tidak berkeadilan,” tegasnya.
Ia menyebut, kasus ini tidak hanya menyangkut keempat terdakwa, tetapi juga menyentuh persoalan lebih luas terkait prinsip persidangan yang terbuka dan akses publik terhadap proses hukum.
“Pengadilan adalah ruang transparansi publik. Memindahkan sidang ke luar daerah tanpa alasan yang jelas adalah bentuk pembatasan akses keadilan,” kata Yan.
Yan dan tim kuasa hukum berkomitmen untuk terus mengawal perkara ini dan mengajak semua pihak yang peduli terhadap HAM untuk bersuara. “Kita harus bersama-sama memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan adil, tanpa diskriminasi, dan menghormati martabat setiap orang,” pungkasnya.
(Udir Saiba)