Proyek Jalan Rp 9,4 Miliar di Pegunungan Arfak Diduga Fiktif, LP3BH Minta Kajati Tegas

Jerat Fakta | Manokwari, Papua Barat – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mendesak Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Papua Barat, Basuki Sukardjono, SH, MH, untuk segera menindaklanjuti dugaan tindak pidana korupsi pada proyek peningkatan ruas jalan di Kabupaten Pegunungan Arfak.

Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian Warinussy, SH, menyebutkan bahwa proyek yang disorot adalah peningkatan Jalan Irboz–Tomstera dan Jalan Ullong Taige. Kegiatan ini dikerjakan oleh Satuan Kerja Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Papua Barat pada Tahun Anggaran 2023 dengan nilai kontrak mencapai Rp 9,4 miliar.

Dana proyek tersebut diduga bersumber dari Dana Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua Barat. Namun, berdasarkan hasil audit, terdapat temuan kerugian negara sebesar Rp 724 juta. Dari jumlah tersebut, baru Rp 200 juta yang dikembalikan, sementara Rp 400 juta sisanya belum dikembalikan.

“Temuan ini menegaskan adanya indikasi kuat penyimpangan dalam pelaksanaan proyek,” kata Warinussy kepada wartawan di Manokwari. Rabu, (20/08/2025).

Berdasarkan hasil penyelidikan di lapangan, tim Kejati Papua Barat menemukan bahwa pekerjaan baru terealisasi sepanjang 74 meter dari total panjang 800 meter. Artinya, progres fisik proyek tersebut bahkan belum mencapai 10 persen. Kondisi ini bisa berimplikasi pada status pekerjaan sebagai total lost alias fiktif.

Informasi yang diperoleh LP3BH menyebut bahwa pelaksana proyek adalah PT Sawitomas Berlian, sebuah perusahaan kontraktor di Manokwari. Fakta ini memperkuat alasan agar Kejati Papua Barat tidak boleh ragu untuk meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan.

“Tidak boleh ada tebang pilih dalam penanganan kasus ini. Hak masyarakat Pegunungan Arfak untuk menikmati infrastruktur jalan harus menjadi prioritas utama,” tegas Warinussy.

Ia menambahkan, selain menyelamatkan kerugian negara, proses hukum terhadap kasus ini juga merupakan bentuk tanggung jawab negara kepada masyarakat. Proyek jalan seharusnya menjadi sarana peningkatan akses dan kesejahteraan warga, bukan sarana untuk memperkaya pihak tertentu.

LP3BH juga menekankan pentingnya kualitas dan kuantitas pekerjaan. Fakta bahwa realisasi fisik proyek tidak sampai 10 persen dari total panjang, menurut Warinussy, sudah cukup menjadi alasan kuat bagi penegak hukum untuk membawa perkara ini ke meja hijau.

“Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jelas mengatur sanksi atas tindakan yang merugikan keuangan negara,” ujar Warinussy.

Pasal 4 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Karena itu, meski ada sebagian dana yang sudah dikembalikan, proses hukum tetap harus dilanjutkan.

“Ini harus menjadi acuan utama bagi Aparat Penegak Hukum di Kejati Papua Barat agar publik percaya bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu,” pungkas Warinussy.

(Udir Saiba)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *