Jerat Fakta | Manokwari – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari kembali menyoroti dugaan peristiwa pinjam-meminjam uang antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manokwari dengan Bank Papua, melalui Kantor Cabang Utama Manokwari.
Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian Warinussy SH, menyebut bahwa praktik pinjaman tersebut diduga berlangsung sejak tahun 2021 hingga 2024 dengan jumlah yang sangat besar. “Pertanyaan saya, apakah sudah ada pengembalian utang dari Pemkab Manokwari kepada Bank Papua?” ujarnya, Selasa (27/8).
Menurut Warinussy, pada tahun 2021 Pemkab Manokwari menerima pinjaman segar sebesar Rp.88 miliar. Tahun berikutnya, 2022, kembali terjadi pemberian pinjaman sejumlah Rp.80 miliar. Pada tahun 2023, pinjaman kembali dikucurkan sebesar Rp.40 miliar, dan terakhir di tahun 2024 sebesar Rp.70 miliar.
“Jika dijumlahkan, dalam rentang empat tahun itu total pinjaman Pemkab Manokwari kepada Bank Papua mencapai Rp.278 miliar,” ungkapnya.
Ia mempertanyakan apa yang menjadi dasar dan alasan terjadinya peristiwa pinjam-meminjam tersebut. “Apakah ada situasi keuangan yang kritis atau urgen di tahun 2021 dan 2022 yang menyebabkan Pemkab harus meminjam?” tanya Warinussy.
Sebagai advokat sekaligus Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender/HRD), Warinussy menilai situasi ini menarik untuk diselidiki lebih jauh. Menurutnya, aparat penegak hukum (APH) di Papua Barat, seperti Polda Papua Barat dan Kejaksaan Tinggi Papua Barat, perlu segera turun tangan.
Bahkan, kata Warinussy, lembaga penegak hukum nasional seperti Kejaksaan Agung RI, Mabes Polri, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) bisa dilibatkan untuk melakukan investigasi. “Penyelidikan dapat dimulai dengan pihak Bank Papua Cabang Manokwari, lalu ditindaklanjuti ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Manokwari,” jelasnya. Rabu, (27/08/2025).
Ia juga menyarankan agar aparat hukum segera meminta informasi hasil audit rutin dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Kantor Perwakilan Papua Barat. Hasil audit ini, menurutnya, bisa menjadi pintu masuk penting untuk mengetahui keabsahan dan transparansi penggunaan dana pinjaman tersebut.
Lebih lanjut, Warinussy menyoroti dampak ekonomi yang mulai dirasakan masyarakat Manokwari. Menurutnya, kondisi perekonomian lokal saat ini tengah “lesu darah”. “Banyak mama-mama Papua yang jualannya tidak habis terjual setiap hari,” ungkapnya.
Fenomena ini, menurut Warinussy, tidak terlepas dari menurunnya daya beli masyarakat yang diduga disebabkan oleh turunnya perputaran uang di Manokwari. “Sebab, pemerintah harus senantiasa memprioritaskan pembayaran utang di Bank Papua yang setiap tahun mencapai sekitar Rp.7 miliar,” bebernya.
Ia menegaskan bahwa pinjaman daerah seharusnya dilakukan secara transparan dan akuntabel. “Rakyat berhak tahu untuk apa dana pinjaman itu digunakan, apakah benar-benar untuk pembangunan atau justru untuk menutupi defisit belanja yang tidak jelas,” katanya.
LP3BH pun menegaskan komitmennya untuk terus mengawal persoalan ini. “Kami akan mendesak agar APH segera mengambil langkah hukum, demi memastikan adanya kepastian hukum, keadilan, dan akuntabilitas keuangan daerah di Manokwari,” pungkas Warinussy.
(Udir Saiba)