Koalisi HAM Desak MA Batalkan Pemindahan Sidang Empat Tapol Papua ke Makassar

Oplus_16777216

Jerat Fakta | Sorong, Papua Barat Daya – Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua melalui Ketua Bidang Kajian Ideologi, Alexander Selter Sagisolo, menegaskan bahwa FORKOPIMDA dan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) harus segera bertanggung jawab atas konflik yang terjadi di Sorong pasca pemindahan empat tahanan politik (tapol) Papua ke Pengadilan Negeri Makassar.

Menurut Sagisolo, langkah Kejaksaan Negeri Sorong yang mengajukan permohonan pemindahan sidang ke Makassar dinilai sebagai keputusan yang sarat rekayasa dan berpotensi menciptakan instabilitas baru di Kota Sorong yang selama ini relatif aman.

“Kapolri segera perintahkan Kapolresta Sorong hentikan tindakan menyerang warga, membongkar rumah warga, serta segera bebaskan seluruh masyarakat sipil yang ditahan atas perjuangan menegakkan perintah Pasal 85 KUHAP dalam kasus empat tahanan politik di Sorong,” tegas Sagisolo dalam keterangan resminya kepada Jerat Fakta, Kamis,  (28/8/2025).

Diketahui, sejak penyidik Polresta Sorong melimpahkan empat tahanan politik Papua ke Kejaksaan Negeri Sorong pada 11 Agustus 2025, muncul langkah mengejutkan dari pihak kejaksaan. Pada 22 Agustus 2025, Kejari Sorong mengeluarkan surat permohonan Nomor: B-3001/R.2.11/Eoh.2/08/2025 perihal pengalihan tahanan dari Rutan/Lapas Sorong ke Rutan/Lapas Makassar.

Langkah tersebut menimbulkan protes keras dari keluarga tahanan dan masyarakat sipil di Sorong yang tergabung dalam Solidaritas Pro Demokrasi Sorong Raya. Mereka menilai Sorong masih dalam kondisi aman dan tidak ada bencana alam yang menjadi dasar sah untuk pemindahan sidang ke luar daerah.

Aksi protes pun digelar di Kantor Kejaksaan Negeri Sorong, Kantor Gubernur Papua Barat Daya, hingga Kantor Pengadilan Negeri Sorong. Massa menuntut transparansi dan pembatalan pemindahan sidang, sekaligus meminta agar Mahkamah Agung bersikap netral dan tidak tunduk pada tekanan politik tertentu.

Penolakan itu, lanjut Sagisolo, berlandaskan pada Pasal 85 KUHAP yang mengatur bahwa pemindahan persidangan ke pengadilan negeri lain hanya dapat dilakukan jika keadaan daerah tidak memungkinkan, misalnya karena tidak aman atau ada bencana alam.

“Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan, barulah MA dapat menunjuk pengadilan negeri lain. Tapi Sorong aman, tidak ada konflik bersenjata ataupun bencana. Jadi alasan pemindahan itu jelas dibuat-buat,” ujarnya.

Keluarga tahanan politik bahkan sudah mendatangi Kejari Sorong untuk meminta penjelasan. Namun, jawaban yang diberikan oleh pihak humas Kejari hanya merujuk pada mekanisme FORKOPIMDA.

Padahal, kata Sagisolo, FORKOPIMDA sejatinya adalah forum koordinasi pimpinan daerah yang bertugas membahas urusan pemerintahan umum, bukan forum yang berwenang menentukan pemindahan tahanan politik.

Ia merujuk pada Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2022 tentang FORKOPIMDA yang menyebutkan bahwa forum tersebut hanya bertugas mendukung kelancaran urusan pemerintahan umum, pembinaan wawasan kebangsaan, menjaga kerukunan, hingga penanganan konflik sosial sesuai kewenangannya.

“Dengan demikian, FORKOPIMDA tidak punya dasar hukum untuk ikut campur dalam pemindahan tahanan maupun sidang kasus politik. Ini jelas menyalahi aturan dan berpotensi mengangkangi prinsip negara hukum,” tegasnya.

Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua juga menilai keputusan Kejari Sorong yang mengacu pada FORKOPIMDA justru memperlihatkan adanya intervensi politik dalam proses peradilan. Hal ini berbahaya karena mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia.

Alexander Sagisolo menegaskan bahwa pemindahan sidang ke Makassar merupakan bentuk pelemahan terhadap hak-hak para tahanan politik Papua dan keluarga mereka. Pemindahan itu dinilai menghalangi akses publik dan solidaritas warga Sorong yang ingin mengikuti jalannya persidangan secara langsung.

“FORKOPIMDA dan Mahkamah Agung harus bertanggung jawab penuh atas potensi konflik yang ditimbulkan akibat keputusan ini. Kami mendesak agar sidang tetap digelar di Pengadilan Negeri Sorong demi menjamin keterbukaan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” pungkas Sagisolo.

(Marten Srekrefat)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *