Jerat Fakta | Manokwari, Papua Barat – Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM), Yan Christian Warinussy, SH, menyampaikan keprihatinan mendalam terkait insiden pencabutan kartu identitas pers milik reporter CNN Indonesia, Diana Valencia, oleh Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.
Peristiwa tersebut terjadi pada Sabtu (27/9), ketika Diana tengah bertugas meliput kepulangan Presiden Prabowo Subianto dari kunjungan luar negeri di New York, Amerika Serikat. Menurut Warinussy, kasus ini menunjukkan gejala “kematian demokrasi” di Indonesia yang harus segera ditangani secara serius.
Pencabutan kartu identitas Diana dilakukan karena ia mengajukan pertanyaan mengenai program Makanan Bergizi Gratis (MBG), yang dinilai pihak Istana di luar konteks. Sebelumnya, seluruh jurnalis istana telah diwanti-wanti hanya menanyakan soal agenda kunjungan luar negeri Presiden Prabowo.
“Bagi saya, ini masalah sepele. Justru pembatasan itu sangat mencederai kebebasan pers. Tindakan ini adalah ciri-ciri kematian demokrasi yang nyata di negeri ini,” ujar Warinussy dalam keterangan tertulis, Senin (29/09/2025).
Sebagai mantan jurnalis senior di Harian Cenderawasih Pos, Warinussy menegaskan bahwa perlakuan tersebut tidak bisa dianggap remeh. Ia menilai peristiwa ini memperlihatkan relasi kekuasaan yang anti kritik dan berbahaya bagi kehidupan demokrasi Indonesia.
Warinussy menekankan, pengembalian kartu pers Diana maupun permintaan maaf dari pihak Istana tidak cukup.
“Presiden Prabowo harus melakukan tindakan bersih-bersih di lingkungan pers Istana. Harus ada investigasi: siapa yang memberi instruksi membatasi pertanyaan wartawan? Mengapa hal itu dilakukan?” tegasnya.
Lebih jauh, ia menduga adanya kepentingan tertentu terkait program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di lingkungan istana yang membuat pertanyaan Diana dianggap sensitif. Hal ini, menurutnya, patut diselidiki secara transparan.
Warinussy mengingatkan, kebebasan pers sudah dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setiap bentuk pembatasan dan intervensi terhadap kerja jurnalistik, kata dia, merupakan pelanggaran hukum yang serius.
“Demokrasi Indonesia tidak boleh mati hanya karena kekuasaan merasa terusik. Justru kritik pers adalah rambu penting bagi pemerintah. Maka Presiden harus segera bertindak sebelum krisis demokrasi ini semakin dalam,” pungkas Warinussy.
(Redaksi)












