Tiga Bulan di Kejati Papua Barat, Kasus ATK Kota Sorong Tak Kunjung Naik Penyidikan

Jerat Fakta | Manokwari, Papua Barat  – Perkara dugaan tindak pidana korupsi (Tipidkor) pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK) dan barang cetakan pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemerintah Kota Sorong dengan kerugian negara 8 milyar pada Tahun Anggaran (TA) 2017 hingga kini belum jelas ujungnya. Kasus yang diduga merugikan keuangan daerah ini telah bergulir lebih dari tujuh tahun tanpa kepastian hukum.

Kasus tersebut mencuat sejak masa pemerintahan tahun pertama Walikota dan Wakil Walikota Sorong, Drs. Ec. Lamberthus Jitmau, MM, dan dr. Hj. Pahimah Iskandar pada tahun 2017. Proses awal penyelidikan dilakukan saat Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sorong dijabat oleh Erwin Priyadi Hamonangan Saragih, SH, MH, yang kini telah menyandang gelar doktor dan menjabat sebagai Plt. Kepala Inspektorat Daerah Provinsi Papua Barat.

Namun, perjalanan perkara ini berjalan lamban. Meski telah menjadi perhatian publik sejak lama, hingga kini belum ada kepastian hukum yang tegas. Bahkan, saat Kajari Sorong kini dijabat Makrun, SH, MH, perkara justru dialihkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat.

Pada Juni 2025 lalu, Kepala Kejati Papua Barat, Muhammad Syarifuddin, SH, MH, sempat menyampaikan bahwa penanganan perkara tersebut sudah resmi diambil alih oleh pihaknya. Namun, hingga Rabu (1/10), sudah genap tiga bulan kasus ini mandek di tahap penyelidikan tanpa peningkatan ke penyidikan.

Padahal, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seharusnya penanganan perkara dapat segera ditingkatkan bila ditemukan bukti permulaan yang cukup. Lambannya proses ini memicu tanda tanya besar di kalangan masyarakat dan pemerhati hukum.

Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, ikut menyoroti kasus ini. Sebagai sesama penegak hukum, ia mempertanyakan apa yang sebenarnya menjadi kendala Kejati Papua Barat dalam menangani perkara tersebut.

Warinussy menilai bahwa lambannya proses hukum kerap terjadi pada perkara-perkara yang cenderung merugikan keuangan negara maupun daerah.

“Kenapa selalu terlihat seperti ada pengaturan ritme penanganannya? Apakah hukum masih menjadi panglima atau justru menjadi alat legitimasi kekuasaan?” ujarnya.

Ia juga menyinggung kunjungan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (JAMWAS), Dr. Rudy Margono, SH, M.Hum, ke Papua Barat.

Warinussy berharap JAMWAS dapat mempertanyakan langsung soal mandeknya perkara ATK dan barang cetakan BPKAD Kota Sorong TA 2017 ini.

Menurutnya, pengawasan dari JAMWAS penting agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum. Kasus dugaan korupsi yang menyangkut uang rakyat tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa kejelasan.

“Jika hukum tidak ditegakkan, kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum akan terus merosot,” tambahnya.

Sebagai advokat, Warinussy menegaskan akan terus mengawal dan mempertanyakan penanganan kasus ini. Ia menegaskan komitmennya berdasarkan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mewajibkan advokat untuk membela kepentingan hukum masyarakat demi tegaknya keadilan.

“Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), karena itu hukum harus benar-benar dijalankan dengan tegas dan adil. Jangan sampai ada kesan bahwa hukum diperlakukan berbeda untuk kasus korupsi tertentu,” tegasnya.

Hingga berita ini diturunkan, pihak Kejati Papua Barat belum memberikan keterangan resmi terbaru terkait perkembangan kasus ATK dan barang cetakan pada BPKAD Kota Sorong. Publik pun masih menunggu bukti nyata bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.

(Udir Saiba)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *