Mahasiswa Paniai Kota studi manokwari melalui BIRO HUBUNGAN MASYARAKAT, KORWIL PANIAI, IMPT KOTA STUDI MANOKWARI

Jerat Fakta | Manokwari –Koordinator umum Miyeida Mote bersama sekretaris korlap Theofilus R Yogi, menyatakan, pendropan militer ke Paniai sejak Sabtu (19/9/2025) malam semakin mencemaskan warga masyarakat sekitarnya, apalagi pada pagi hari langsung operasi patroli di danau Paniai menggunakan speedboat militer berukuran besar.

Data lapangan yang diterima mahasiswa, aparat militer dengan peralatan perang lengkap itu telah menempati dua tempat yaitu Koramil Komopa di distrik Aradide dan Koramil Obano di distrik Paniai Barat.

Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Paniai menanggapi keluhan masyarakat sudah menyampaikan kepada kepala daerah, juga pihak militer tentang tujuan kedatangannya ke Paniai.

Jawaban yang diperoleh adalah mereka penugasan dari Jakarta. Terdiri dari pasukan Rajawali, Satgas 177, dan Marinir.

DPRK Paniai menegaskan, selama 6 bulan bertugas tidak ada penambahan pos baru di perkampungan, selain itu tidak diperbolehkan berpatroli pada malam hari.

Panglima TNI juga diminta untuk segera ditarik kembali karena kehadiran militer non-organik di kabupaten Paniai membuat masyarakat trauma berkepanjangan.

“Kami juga sangat mendukung untuk segera tarik kembali pasukan militer non-organik ke baraknya. Orang Paniai, orang Papua, sudah lama trauma dengan operasi militer. Jangan tambah lagi dengan pengiriman militer banyak-banyak,” ujarnya dalam orasi.

Sejak pasukan militer tiba di Paniai, hingga kini banyak masyarakat yang belum kembali ke kampungnya karena tekanan batin dengan kejadian pelanggaran HAM masa lalu yang sampai sekarang belum secara hukum.

pelanggaran HAM berat pada tahun 2020. Setelah digiring ke pengadilan HAM Makassar tahun 2022, hanya satu terdakwa tingkat bawah yang disidangkan. Anehnya, ia divonis bebas. Tak ada pejabat tinggi TNI dan Polri yang dimintai pertanggungjawaban atas kasus berdarah itu.

Selain itu, kontak senjata antar aparat gabungan dan TPNPB di Bibida pada 14 Juni 2024 yang menyebabkan warga sipil terusir dari kampung halaman.

Intimidasi, pemukulan, penembakan, hingga pembakaran rumah warga sipil terjadi dalam operasi militer di Bibida.

Jauh sebelum itu, operasi Koteka di seluruh daerah pegunungan termasuk Paniai sejak tahun 1970-an. Ada pula Bunauwo berdarah pada tahun 1977, dan banyak kasus kekerasan terhadap warga sipil.

“Semua fakta masa lalu hingga sekarang masih menunjukkan pola kekerasan negara tidak pernah benar-benar berhenti sampai saat ini tahun 2025. Lebih menyakitkan adalah semua tragedi itu tidak pernah diselesaikan secara hukum. Tidak ada proses keadilan, para korban tidak mendapatkan pemulihan, dan negara seolah menutup mata terhadap penderitaan rakyatnya sendiri. Situasi ini memperkuat ketidakpercayaan rakyat Paniai bahkan seluruh rakyat Papua terhadap negara dan menambah jurang perpecahan yang semakin dalam,” bebernya.

Penugasan pasukan militer non-organik dituding bakal menambah daftar panjang kasus kekerasan hingga pelanggaran HAM. Dampak genosida yang sangat luas dan meninggalkan luka mendalam bagi korban langsung maupun generasi berikut akibat kehadiran militer berlebihan, bisa berdampak dalam berbagai aspek. Selain kehilangan nyawa, trauma psikologis, juga dampak sosial-budaya, dan dampak lainnya baik jangka pendek hingga jangan panjang di tengah masyarakat Paniai.

“Semua akan menghambat pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan keadilan sosial di kabupaten Paniai. Kehadiran militer berpotensi gagal mencapai tujuan jika gencar teror warga sipil dan adanya kasus pelanggaran HAM. Tidak hanya pada generasi saat ini, tetapi dampaknya akan terus dirasakan dalam jangka panjang oleh anak cucu dari masyarakat setempat,” urainya.

Oleh karena itu, mahasiswa Paniai kota studi Manokwari menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut:

1. Presiden Republik Indonesia, Panglima TNI, gubernur Papua Tengah, DPRP Papua Tengah segera menarik seluruh militer non-organik dan organik dari wilayah Paniai ke barak.

2. Menolak segala bentuk militerisasi di Tanah Papua terlebih khusus di wilayah Paniai, karena bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan kehidupan sipil yang damai.

3. Mendesak kepada aparat militer Republik Indonesia segera menghentikan operasi militer, penggerebekan, penyisiran, intimidasi terhadap masyarakat sipil di wilayah Paniai, bahkan seluruh Tanah Papua.

4. Mendesak kepada pemerintah kabupaten Paniai segera bersikap tegas menolak pendropan militer di wilayah kabupaten Paniai.
Meminta kepada bupati Paniai, DPRK Paniai, DPRP Papua Tengah dan gubernur Papua Tengah segera menyurati kepada presiden RI dan Panglima TNI untuk tarik kembali militer dari kabupaten Paniai.

5. Menuntut pertanggungjawaban negara Republik Indonesia atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di seluruh Tanah Papua dan terlebih khusus di wilayah kabupaten Paniai berdasarkan data, fakta masa lalu, fakta masa kini, dan hukum yang berlaku secara nasional maupun internasional.

6. Menegaskan bahwa kehadiran militer tanpa izin resmi dari pemerintah daerah dan tanpa persetujuan masyarakat adat merupakan bentuk pelanggaran hukum dan konstitusi.

8. Menuntut kepada aparat militer Republik Indonesia untuk menghormati hukum nasional maupun hukum internasional, termasuk Deklarasi Universal HAM (UDHR) dan konvensi internasional tentang hak-hak sipil maupun politik.

9. Mendesak kepada lembaga independen, Komnas HAM maupun Dewan HAM PBB untuk segera melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap pelanggaran HAM di wilayah kabupaten Paniai maupun di seluruh Tanah Papua.

10. Bupati dan DPRK Paniai segera cabut kembali 7 izin tambang emas, batu bara, minyak dan gas di wilayah kabupaten Paniai.

11. Meminta kepada DPRK Paniai segera transparan terkait aspirasi penolakan DOB Delama Jaya dan Paniai Timur.

12. Negara Republik Indonesia segera menghentikan PSN di seluruh Tanah Papua.

13. Menolak dengan tegas rencana eksploitasi gunung Wabu kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah.

14. Menolak segala jenis operasi militer Republik indonesia di seluruh Tanah Papua.

15. Stop dan hentikan pendropan militer di seluruh Tanah Papua.

16. Kami menuntut kepada negara Republik Indonesia untuk menghormati hak masyarakat adat di seluruh Tanah Papua sebagai pemilik sah tanah, hutan, dan sumber daya alam sesuai amanat Undang-undang Otsus Papua dan hak-hak masyarakat adat (UNDRIP).

Usai pernyataan sikap sebagai suara hati rakyat dan mahasiswa Paniai serta seluruh Tanah Papua dibacakan, peserta aksi dipimpin koordinator lapangan Paniai IMPT Miyeida Mote menutupnya dengan doa dan pengucapan salam demokrasi.
Miyeida Mote selaku KORLAP UMUM

Theofilus R Yogi selaku SEKORLAP UMUM

Lokasi depan mbamard jln gunung salju amban

(Marten Srekrefat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *