Manokwari, Jerat Fakta — Hari Sabtu, 25 Oktober 2025, menjadi momen bersejarah bagi masyarakat Papua, khususnya umat Kristen Injili, karena genap 100 tahun Domine Isaac Semuel Kijne memindahkan pendidikan sekolah guru dari Pulau Mansinam ke Miei, Wondama yang kini dikenal sebagai Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat. Peringatan ini menjadi refleksi perjalanan panjang pendidikan, iman, dan peradaban orang Papua Asli.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, dalam buku Sedjarah Ringkas Gereja Kristen Injili di Irian Barat karya Pdt. F.J.S. Rumainum (Sukarnapura, 1 November 1956), dijelaskan bahwa pada tahun 1917 telah dibuka pendidikan guru di Mansinam oleh Pdt. van Hasselt. Pada tahun 1923, sekolah tersebut berubah menjadi Sekolah Sambungan Pria selama enam tahun, ditambah SGB (Sekolah Guru Bawah) tiga tahun, dengan pengajarnya Domine I.S. Kijne.
Kemudian pada tahun 1925, Domine Kijne memindahkan pusat pendidikan itu ke Aitumieri (Miei), Wondama, dan berlangsung hingga tahun 1942.
Menurut Warinussy, pendidikan guru yang dibangun Kijne bertujuan mempersiapkan generasi Papua Asli yang beriman, berilmu, dan berkarakter, agar mampu membangun peradaban bangsanya sendiri di masa depan.
“Sejak 1925 hingga kini, orang Papua telah memiliki banyak pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman di berbagai sektor kehidupan mulai dari sosial, ekonomi, politik, hukum, hingga kesehatan dan pendidikan,” tutur Warinussy.
Namun demikian, lanjutnya, sejarah panjang pembangunan manusia Papua itu justru berhadapan dengan perlakuan negara yang belum sepenuhnya adil terhadap Orang Papua Asli.
Sebagai seorang Penatua, Advokat, dan Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender), Warinussy menilai bahwa sejak integrasi 1 Mei 1963, masih banyak pelanggaran HAM yang menimpa masyarakat Papua.
“Sudah hampir 24 tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, tetapi pelanggaran HAM berat masih terus terjadi,” ujarnya.
Ia mencontohkan berbagai kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipil di Intan Jaya, Tolikara, Yahukimo, Deiyai, Dogiyai, Puncak, dan Paniai.
Menurutnya, aparat keamanan seringkali berdalih bahwa korban merupakan bagian dari kelompok bersenjata atau simpatisan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
“Padahal banyak bukti menunjukkan bahwa para korban adalah warga sipil yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata,” tegas Warinussy.
Ia juga menyinggung tragedi Wasior 2001, yang terjadi sebelum wilayah itu menjadi Kabupaten Teluk Wondama. Saat itu, operasi keamanan yang dipimpin oleh mantan Kapolres Manokwari, Letkol Bambang Budi Santoso, diklaim untuk memburu kelompok bersenjata pimpinan Daniel Awom dan Otis Koridama. Namun kenyataannya, operasi tersebut justru menimbulkan korban di pihak warga sipil, termasuk pembunuhan di luar hukum, penganiayaan, penahanan sewenang-wenang, dan pengungsian besar-besaran.
“Sampai hari ini, kasus Wasior belum pernah dibawa ke jalur hukum (litigasi), padahal Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup kuat,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM seharusnya menjadi dasar hukum untuk menegakkan keadilan bagi korban Wasior dan keluarganya.
Menutup pernyataannya, Warinussy mengajak Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua untuk kembali menggaungkan suara kenabian sebagaimana semangat yang diwariskan oleh Domine Kijne.
“Menjelang 100 tahun warisan Kijne ini, suara gereja dan masyarakat adat harus bersatu menuntut penyelesaian kasus Wasior. Ini adalah panggilan iman dan kemanusiaan agar peradaban Papua yang dirintis Kijne benar-benar menjadi terang di tengah bangsa Indonesia,” pungkasnya.
(Redaksi)












