Sidang Dugaan Makar Empat Anggota NFRPB di PN Makassar, Saksi Meringankan Tegaskan Tak Ada Unsur Kekerasan

Jerat Fakta | MAKASSAR — Persidangan perkara dugaan tindak pidana makar atas nama Terdakwa Penatua Abraham Goram Gaman, Penatua Piter Robaha, Nikson May, dan Maksi Sangkek kembali digelar di Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A Khusus pada Kamis (23/10/2025). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi-saksi meringankan yang diajukan oleh para terdakwa dan tim penasihat hukumnya.

Ketiga saksi meringankan yang dihadirkan dalam sidang tersebut adalah Yan Baransano, Yusak Wompere, dan Robertus Nia. Dua saksi memberikan keterangan secara daring, sementara satu saksi lainnya hadir langsung di ruang sidang. Sidang dipimpin oleh dua hakim ketua berbeda, yakni Herbert Harefa, SH, MH dan Hendry Manuhua, SH, M.Hum, karena perkara ini dibagi ke dalam empat berkas terpisah.

Saksi Yan Baransano memberikan keterangan secara daring dari Kantor Kejaksaan Negeri Sorong. Di bawah sumpah, ia menyatakan bahwa dirinya adalah salah satu anggota Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) di Sorong. Ia menjelaskan bahwa setiap tahun, tepat pada tanggal 19 Oktober, pihaknya merayakan hari ulang tahun NFRPB dengan ibadah syukur dan acara damai tanpa insiden.

“Setiap tahun kami beritahukan kegiatan kepada aparat penegak hukum dan tidak pernah dibubarkan atau dihalangi. Semua kegiatan berjalan aman dan damai,” ujar Baransano melalui sambungan daring.

Saksi kedua, Yusak Wompere, juga memberikan keterangan yang menguatkan pernyataan Baransano. Ia mengatakan bahwa dirinya pernah membantu mengantar surat dari Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut, kepada Gubernur Papua Barat Daya dan beberapa instansi lain, termasuk Polda Papua Barat Daya. “Saya heran karena sampai sekarang tidak pernah dipanggil oleh polisi untuk dimintai keterangan,” ucap Wompere di depan majelis hakim.

Sementara itu, saksi ketiga, Robertus Nia, hadir langsung di ruang sidang mewakili Presiden NFRPB Forkorus Yaboisembut. Dalam kesaksiannya, ia mengaku sebagai anggota NFRPB yang berdomisili di Jayapura dan turut aktif dalam kegiatan organisasi tersebut. “Kami setiap tahun memperingati hari ulang tahun NFRPB dengan ibadah dan upacara adat budaya, tanpa pengibaran bendera Bintang Fajar,” tegas Nia.

Saksi Nia juga menjelaskan bahwa dalam setiap kegiatan NFRPB di Jayapura, aparat negara seperti TNI dan Polri sering hadir untuk memantau jalannya kegiatan. “Kami tidak pernah bentrok atau berkonflik dengan aparat. Setelah acara, tidak ada satu pun dari kami yang dipanggil atau diproses hukum,” tambahnya.

Dalam sidang tersebut, para saksi meringankan juga menegaskan bahwa meskipun NFRPB memiliki atribut organisasi, kegiatan mereka bersifat sosial dan spiritual, bukan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keterangan ketiga saksi ini diperkuat oleh keempat terdakwa yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan tindakan makar sebagaimana didakwakan.

Keempat terdakwa dalam kesempatannya memberikan keterangan di depan majelis hakim. Mereka menjelaskan bahwa pada 14 April 2024, mereka hanya mengantar surat dari Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut, yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dengan tembusan ke berbagai otoritas sipil dan militer di wilayah Tanah Papua.

“Kami tidak pernah mengibarkan bendera Bintang Fajar dan tidak pernah melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum. Kami hanya mengantarkan surat resmi sebagai bentuk komunikasi organisasi,” ujar salah satu terdakwa di hadapan hakim.

Menariknya, saksi Robertus Nia juga mengaku pernah melakukan hal serupa di Jayapura, yaitu mengantar surat Presiden NFRPB kepada otoritas pemerintah dan militer Indonesia, tanpa pernah diproses hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi tim penasihat hukum terkait alasan keempat terdakwa di Makassar justru ditetapkan sebagai tersangka dan kini menjadi terdakwa.

Sidang yang berlangsung sejak siang hingga malam hari, sekitar pukul 19.30 WITA, berjalan tertib dengan pengawalan ketat aparat kepolisian. Keempat terdakwa didampingi oleh dua penasihat hukum, yakni Advokat Pither Ponda Barani, SH dan Advokat Bruce Labobar, SH, yang secara aktif mengajukan pertanyaan kepada para saksi.

Majelis hakim menutup sidang dengan agenda lanjutan pada Kamis (30/10/2025), di mana Jaksa Penuntut Umum (JPU) dijadwalkan akan membacakan tuntutannya terhadap para terdakwa. Publik dan pengamat hukum di Makassar serta Papua disebut akan menantikan arah perkembangan perkara yang dinilai sensitif ini. (***)

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *