Jerat Fakta | Manokwari, – Sebuah drama penyesatan hukum tengah terjadi dalam perkara dugaan tindak pidana makar yang menjerat empat terdakwa, masing-masing Penatua Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, Nikson May, dan Maksi Sangkek. Sidang lanjutan perkara tersebut digelar di Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A Khusus, Selasa (4/11).
Kuasa hukum keempat terdakwa, Yan Christian Warinussy, SH, dalam keterangan tertulis yang diterima media, menyebut bahwa jalannya persidangan telah menampilkan indikasi kuat adanya penyesatan hukum yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Sorong.
Menurut Warinussy, penyesatan tersebut tampak jelas dalam isi tuntutan yang diajukan oleh jaksa. Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan bahwa keempat kliennya terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan kedua, yaitu melanggar Pasal 106 KUHP juncto Pasal 54 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun, kejanggalan muncul karena meskipun menyatakan para terdakwa terbukti melakukan makar, jaksa justru menuntut mereka dengan pidana penjara yang tergolong ringan, yakni masing-masing 8 (delapan) bulan penjara dengan pengurangan masa tahanan yang telah dijalani.
“Ini bentuk tuntutan yang bersifat paradox,” tegas Warinussy. “Bagaimana mungkin perbuatan makar yang disebut membahayakan keamanan negara hanya dituntut delapan bulan? Ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan logika hukum dalam tuntutan tersebut.”
Lebih lanjut, Warinussy menjelaskan bahwa hingga Selasa malam, pihaknya belum memperoleh salinan lengkap surat tuntutan dari JPU.
“Rekan kami, Advokat Pither Ponda Barani, SH dari Makassar, akan menyerahkan soft copy surat tuntutan tersebut agar kami bisa mempersiapkan nota pembelaan (pledoi) secara maksimal,” ujarnya.
Warinsussy menilai bahwa isi tuntutan jaksa justru memperkuat argumentasi pihak pembela bahwa perkara ini sarat dengan rekayasa dan kriminalisasi politik terhadap empat terdakwa yang selama ini dikenal sebagai tokoh masyarakat adat dan gereja di Tanah Papua.
“Kasus ini bukan semata soal hukum, tapi juga menyentuh ranah hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi politik,” ujar Warinussy yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari.
Persidangan akan kembali dilanjutkan pada Selasa, 11 November 2025, di Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A Khusus, dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari tim kuasa hukum keempat terdakwa. Publik menantikan bagaimana majelis hakim akan menilai fakta-fakta hukum yang sesungguhnya dalam perkara yang kini menjadi sorotan luas masyarakat Papua dan nasional tersebut.
Sumber: Yan Christian Warinussy
Editor: Usman Nopo












