Jerat Fakta | Manokwari – Sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender/HRD) di Tanah Papua, Yan Christian Warinussy, SH, memberikan catatan hukum terhadap tindakan Gubernur Papua, Mathius D. Fachiri, yang memberhentikan Pelaksana Tugas Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dok II Jayapura, dr. Arnold Rumainum, pada Selasa (4/11).
Menurut Warinussy, tindakan tersebut masuk dalam kategori Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan berpotensi dapat diuji melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Warinussy menegaskan, pemberhentian pejabat publik, khususnya dalam jabatan struktural di rumah sakit daerah, tidak bisa dilakukan secara sepihak atau spontan tanpa mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.
Ia menyebut, dasar hukum terkait pengangkatan dan pemberhentian pejabat ASN diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Selain itu, menurutnya, ketentuan teknis mengenai manajemen pegawai negeri sipil juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 17 Tahun 2020.
“Semua tindakan pejabat publik, termasuk Gubernur, harus mengikuti koridor hukum administrasi dan kepegawaian yang jelas,” ujarnya.
Warinussy juga menyinggung ketentuan lain yang relevan, seperti Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, serta Permendagri Nomor 79 Tahun 2017 tentang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), apabila RSUD Dok II berstatus BLUD.
Menurutnya, jabatan direktur RS merupakan jabatan manajerial dalam sistem birokrasi yang diatur oleh mekanisme administrasi pemerintahan.
“Gubernur Papua memang memiliki kewenangan formal untuk mengangkat dan memberhentikan Direktur RSUD Provinsi Papua. Namun kewenangan itu tidak bisa dijalankan semaunya. Harus melalui mekanisme evaluasi kinerja dan rekomendasi dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD),” tambahnya.
Ia menekankan bahwa pemberhentian pejabat seperti dr. Arnold Rumainum harus dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan atau penilaian disiplin sesuai dengan PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS. Tanpa proses tersebut, keputusan Gubernur dapat dianggap cacat hukum dan dapat digugat secara administratif.
Lebih lanjut, Warinussy mengingatkan bahwa keputusan pemberhentian pejabat publik harus dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) yang sah secara hukum. SK tersebut menjadi dasar formal yang memungkinkan pengawasan hukum terhadap keputusan administrasi negara. Tanpa SK, tindakan tersebut hanya bersifat lisan dan tidak memiliki kekuatan hukum.
“Jika pemberhentian dilakukan tanpa dasar hukum tertulis dan tanpa mengikuti mekanisme resmi, maka tindakan tersebut bisa digugat di PTUN karena mengandung unsur kesewenang-wenangan,” kata Warinussy.
Ia menilai, tindakan seperti ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di lingkungan kerja pemerintahan.
Sebagai advokat dan pembela HAM, Warinussy mengingatkan para pejabat daerah di Papua agar menjunjung tinggi prinsip-prinsip hukum dan administrasi pemerintahan yang baik. Menurutnya, setiap keputusan yang diambil harus berdasarkan asas kepastian hukum, profesionalitas, dan akuntabilitas.
“Pejabat publik di Papua harus menjadi teladan dalam penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan yang bersih. Jangan justru memperlihatkan sikap otoriter dalam menjalankan kewenangan,” pungkasnya.












