Advokat HAM Papua Desak Langkah Hukum dan Dialog Bermartabat untuk Masa Depan Papua

Jerat Fakta | Manokwari, Papua Barat — Sudah lebih dari enam dekade, tepatnya 62 tahun, Tanah Papua dan Orang Asli Papua (OAP) berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 1 Mei 1963. Proses integrasi tersebut merupakan hasil dari perjalanan politik panjang yang dimulai dengan penandatanganan Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 antara Pemerintah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, perjanjian tersebut menjadi dasar utama seluruh proses politik yang berlangsung di Tanah Papua hingga saat ini. Ia menegaskan bahwa isi perjanjian itu memuat ketentuan yang berdampak langsung terhadap eksistensi Orang Asli Papua serta hak-hak dasar mereka.

“Jika Orang Papua Asli mengatakan bahwa masa depannya tidak ada di dalam negara Indonesia, maka kebenarannya dapat diakui, karena hal itu tersirat dan tersurat dalam Perjanjian New York,” ujar Warinussy, Kamis (6/11/2025).

Sebelum integrasi, lanjutnya, pada tahun 1961 sebenarnya telah berlangsung proses politik penting di mana rakyat Papua melalui Nieuw Guinea Raad (NGR) menyatakan tekad untuk mempersiapkan berdirinya sebuah negara Papua yang merdeka. Namun langkah tersebut oleh Presiden Soekarno saat itu disebut sebagai “negara boneka”.

Dari hasil penelitian para ahli geologi, Tanah Papua diketahui menyimpan kekayaan sumber daya alam yang sangat besar. Warinussy menilai, karena alasan itu pula pendekatan politik menjadi alat utama yang dipakai oleh negara-negara besar untuk mengendalikan arah masa depan Papua pada masa itu.

Ia menyinggung dua karya penting yang menjadi rujukan sejarah politik Papua, yaitu buku “Een Daad Van Vrije Keuze” karya Prof. Peter H. Drooglever dan “Bayang-bayang Intervensi” karya Greg Poulgrain. Kedua buku tersebut, menurutnya, menggambarkan secara ilmiah tentang keterlibatan kekuatan internasional seperti Amerika Serikat dalam dinamika politik Papua di era 1960-an.

Sebagai advokat dan pembela hak asasi manusia, Warinussy juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2018 dirinya pernah mengajukan permohonan uji materi (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).

Setahun kemudian, pada 6 Januari 2019, MKRI mengeluarkan putusan yang menyatakan tiga hal penting. Pertama, bahwa Act of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat/Peppera) merupakan peristiwa hukum internasional yang tidak menjadi kewenangan MK untuk dinilai. Kedua, para pemohon tidak dapat memaksakan MK menyatakan sikap atas peristiwa hukum tersebut. Ketiga, karena undang-undang itu merupakan pembentukan provinsi, maka pihak yang memiliki legal standing untuk mengajukan uji materi adalah DPRD dan MRP.

“Putusan itu membuat perdebatan hukum ini tetap terbuka dan bisa dilanjutkan oleh rakyat Papua di forum nasional, regional, maupun internasional,” jelas Warinussy.

Ia kemudian mengingatkan pentingnya melakukan langkah hukum baru berdasarkan amanat Pasal 46 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Menurutnya, pasal tersebut memberi ruang hukum bagi rakyat Papua untuk mencari solusi yang adil dan bermartabat atas persoalan politik Papua.

Warinussy juga menyoroti keberadaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang menurutnya telah menjadi representasi politik rakyat Papua di tingkat internasional. ULMWP, katanya, bisa berperan penting dalam membangun kesadaran demokrasi dan hak menentukan nasib sendiri bagi orang Papua.

Ia menegaskan bahwa pendekatan militer yang masih digunakan secara masif oleh pemerintah Indonesia hingga kini tidak akan pernah menyelesaikan persoalan Papua. Sebaliknya, pendekatan itu hanya memperpanjang penderitaan rakyat dan berpotensi menimbulkan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

“Model pembangunan yang masif dijalankan di Papua saat ini akan sulit mencapai kesejahteraan sosial bagi rakyat Papua bila tidak disertai keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” tandasnya.

Sebagai penutup, Warinussy menegaskan bahwa dialog damai berbentuk negosiasi politik adalah jalan paling bermartabat untuk menyelesaikan persoalan Papua.

“Dialog adalah kunci bagi masa depan Tanah Papua, bukan kekerasan. Rakyat Papua berhak mendapatkan keadilan dalam bingkai kemanusiaan,” tegasnya.

Sumber: LP3BH 

Editor: Usman Nopo 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *