Pidana Diperberat di Banding, Kuasa Hukum Beatrick Soroti Kejanggalan Proses Hukum

Jerat Fakta | Manokwari, Papua Barat — Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Yan Christian Warinussy, S.H., menyoroti kejanggalan dalam proses hukum perkara tindak pidana korupsi yang menjerat kliennya, Beatrick Baransano, di Pengadilan Negeri Manokwari. Perkara tersebut tercatat dengan Nomor: 17/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Mnk.

Menurut Warinussy, majelis hakim pengadilan tingkat pertama memutus bahwa Beatrick Baransano terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider Penuntut Umum. Dalam putusannya, Beatrick dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp100 juta, dengan ketentuan kurungan tiga bulan apabila denda tidak dibayar.

Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Manokwari. Hasilnya, hukuman terhadap klien Warinussy justru diperberat menjadi 4 tahun penjara, tetap dengan denda Rp100 juta, serta dikurangi masa penahanan yang sudah dijalani.

“Yang kami pertanyakan, kenapa justru hukuman klien saya diperberat di tingkat banding, sementara fakta persidangan jelas menunjukkan Beatrick tidak pernah menerima satu rupiah pun dari dana proyek tersebut,” ungkap Warinussy kepada wartawan di Manokwari, Minggu (09/11/2025).

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perkara ini berkaitan dengan proyek peningkatan jalan Mogoy-Merdey Tahun Anggaran 2023 di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Dalam persidangan, terbukti tidak ada aliran dana proyek yang masuk ke rekening atau dikendalikan oleh Beatrick Baransano.

Warinussy menambahkan bahwa terdakwa lain dalam perkara terpisah, Akalius Yanus Misiro, justru disebut-sebut sebagai pihak yang menikmati dana proyek tersebut. “Terdakwa Akalius lah yang diduga menikmati hasil proyek. Namun anehnya, justru dia mendapat hukuman lebih ringan, di bawah dua tahun,” tegasnya.

Ia juga mengungkap bahwa Akalius Yanus Misiro sempat dituntut oleh jaksa dengan dakwaan menikmati uang proyek tersebut melalui perusahaan CV Gloria Bintang Timur milik Viktor Andreas Affar di Jayapura. Namun, Akalius sendiri dikatakan tidak pernah menandatangani surat kuasa peminjaman perusahaan itu.

Lebih mencurigakan lagi, lanjut Warinussy, rekening yang digunakan untuk mencairkan dana proyek bukan atas nama Akalius. Meski demikian, setelah ia ditangkap dan ditahan, terjadi pengembalian kerugian negara dalam jumlah besar yang disetor ke kas negara melalui Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat.

“Yang menarik dan janggal adalah bagaimana seorang mantri di Teluk Bintuni seperti Akalius Misiro bisa mengembalikan miliaran rupiah dalam waktu singkat. Dari mana asal dana itu? Hal ini harus diperiksa dengan serius,” tutur Warinussy dengan nada tegas.

Sebagai penasihat hukum Beatrick Baransano, Warinussy mendesak dilakukannya pemeriksaan internal terhadap oknum jaksa di Kejati Papua Barat yang diduga terlibat dalam upaya menutupi keterlibatan pihak yang sebenarnya menikmati dana proyek tersebut.

“Ini persoalan integritas dan keadilan hukum. Jangan sampai jaksa yang seharusnya menegakkan hukum malah terlibat dalam praktik yang mencederai rasa keadilan masyarakat,” katanya.

Warinussy menilai bahwa kliennya, seorang Perempuan Papua Asli dari Suku Byak, telah menjadi korban ketidakadilan dalam proses hukum yang diskriminatif. “Beatrick adalah perempuan Papua yang jujur dan bekerja profesional. Namun, ia justru dikorbankan oleh sistem yang timpang,” pungkasnya.

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *