Aktivis Papua Desak Gubernur Copot Empat Direktur Rumah Sakit yang Tolak Pasien Hamil Hingga Mengakibatkan Meninggal Dunia

Jerat Fakta | Jayapura — Aktivis Papua meminta Gubernur Papua bertindak tegas dengan mencopot empat direktur rumah sakit di Jayapura yang diduga terlibat dalam dugaan penolakan pelayanan medis terhadap almarhumah Irene Sokoy, seorang ibu hamil asli Papua yang akhirnya meninggal dunia bersama bayi dalam kandungannya.

Kasus tersebut memicu kemarahan publik setelah diberitakan bahwa pasien sempat ditolak dengan berbagai alasan sebelum akhirnya mendapatkan penanganan medis.

Ketua LSM Watchdog Gerakan Anak Bangsa (WGAB) Papua, Yerry Basri Mak, SH, MH, menyampaikan bahwa pemberitaan media mengenai penyebab meninggalnya Irene Sokoy sangat memprihatinkan.

Menurutnya, tidak seharusnya ada pasien, terlebih seorang ibu hamil dalam kondisi darurat, yang ditolak haknya untuk mendapatkan layanan kesehatan hanya karena persoalan teknis ataupun administrasi.

Yerry menyatakan bahwa pemerintah daerah harus turun tangan secara serius.

“Empat rumah sakit yang terlibat dalam penolakan pelayanan ini harus dievaluasi, dan direkturnya dicopot. Tidak ada alasan yang bisa dibenarkan jika penolakan tersebut menyebabkan hilangnya nyawa ibu dan anak yang tidak berdosa,” ujarnya. Selasa, (25/11/2025).

Ia juga menegaskan bahwa rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta, tidak boleh menjadikan kemampuan pembayaran sebagai faktor utama dalam menentukan pelayanan.

“Tugas utama tenaga kesehatan adalah memberikan pertolongan pertama kepada pasien yang membutuhkan, bukan menanyakan biaya atau administrasi terlebih dahulu,” tegasnya.

Menurut Yerry, salah satu informasi yang berkembang menyebutkan bahwa keluarga pasien diminta membayar uang muka sebesar empat juta rupiah sebelum dilakukan tindakan operasi.

Kondisi ini, katanya, tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip pelayanan medis yang seharusnya mengutamakan keselamatan nyawa.

Lebih lanjut, Yerry menekankan bahwa biaya perawatan dapat diurus kemudian, setelah tindakan penyelamatan dilakukan.

“Yang terpenting adalah nyawa pasien terselamatkan. Masalah biaya itu urusan belakangan. Nyawa manusia tidak boleh diperdagangkan,” katanya dengan nada kecewa.

Di akhir pernyataannya, Yerry berharap kematian Irene Sokoy menjadi pelajaran besar bagi seluruh fasilitas medis di Papua. Ia menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi penolakan pasien dengan alasan apapun, terutama terhadap warga dalam kondisi darurat.

“Layanilah masyarakat dengan hati, bukan dengan kalkulator. Uang bisa dicari, tapi nyawa tidak bisa dikembalikan.”

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *