Jerat Fakta | Manokwari – Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tingkat Internasional ke-65, yang jatuh pada 25 November 2025, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, menyampaikan seruan penting terkait penegakan hukum dan perlindungan perempuan di Tanah Papua.
Peringatan ini menurutnya menjadi momentum refleksi bagi seluruh pemangku kepentingan negara.
“Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di tingkat internasional berakar pada tragedi yang menimpa Mirabel bersaudara di Republik Dominika pada 25 November 1960. Mereka menjadi korban kekejaman rezim diktator Rafael Trujillo, dan perjuangan mereka melahirkan gerakan global melawan kekerasan berbasis gender,” kata Warinuusy kepada wartawan. Jumat, (28/11/2025).
Ia juga menjelaskan, sejalan dengan Resolusi PBB No. 54/134, peringatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran atas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perlakuan diskriminatif lainnya yang masih marak terjadi di berbagai belahan dunia.
“Sebagai salah satu Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender/HRD) di Tanah Papua, saya menegaskan bahwa terdapat dua kasus mendesak (urgent action) yang perlu segera ditangani oleh aparat penegak hukum. Kedua kasus tersebut mencerminkan potret kekerasan yang masih mengancam perempuan dan anak di Papua,” jelasnya.
Menurutnya, kasus pertama adalah dugaan pelecehan seksual atau tindak pidana cabul terhadap seorang remaja perempuan berusia 18 tahun, yang diduga melibatkan seorang oknum Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Raja Ampat.
“Dari aspek hukum, saya menegaskan bahwa perbuatan tersebut dapat dipidana sesuai Pasal 293 dan 294 KUHP, bahkan akan diatur lebih tegas dalam KUHP baru No.1 Tahun 2023 yang berlaku efektif mulai 2 Januari 2026,” tegasnya.
Kasus kedua yang disoroti adalah kematian tragis Ibu Irene Sokoy beserta calon bayi dalam kandungannya pada 15 November lalu.
“Saya menilai peristiwa ini sebagai bentuk pelanggaran HAM yang bertentangan dengan amanat UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, karena adanya indikasi kegagalan layanan kesehatan dalam melindungi hak atas hidup,” ucap Warinussy.
Menurutnya, pihak manajemen rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum karena diduga tidak melakukan tindakan cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa korban.
Kelalaian semacam ini, tegas Warinussy, tidak boleh dibiarkan dan harus segera diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun ini, kata Warinussy, harus menjadi tonggak penting untuk memastikan tidak terulangnya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap perempuan, khususnya pasien hamil di Tanah Papua yang kerap menghadapi risiko pelayanan kesehatan yang tidak memadai.
“Saya juga menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh dihindari, tetapi justru harus menjadi alat koreksi bagi negara dan institusi kesehatan agar tidak lagi menolak atau menunda pelayanan medis darurat bagi perempuan hamil di seluruh Tanah Papua,” pungkasnya.
Dengan seruan tersebut, Warinussy berharap momentum peringatan internasional ini mampu membuka ruang bagi reformasi kebijakan dan praktik perlindungan perempuan yang lebih kokoh, adil, dan manusiawi.
(Redaksi)












