Jerat Fakta | Manokwari — Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy SH, meminta perhatian khusus Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto agar memberikan arahan sejuk dan damai kepada jajaran pimpinan TNI, Polri, serta pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Tanah Papua menjelang tanggal 1 Desember 2025.
Ia menilai tanggal tersebut tidak semestinya digunakan sebagai “moment jahat” bagi rakyat Papua, khususnya Orang Asli Papua (OAP).
Warinussy menyoroti adanya pendropingan pasukan TNI dalam jumlah besar di berbagai wilayah Papua menjelang 1 Desember.
“Saya mengkritisi narasi bahwa langkah tersebut “halal” dilakukan atas alasan menjaga kedaulatan negara,” katanya. Sabtu, (29/11/2025).
Menurutnya, pendekatan demikian berpotensi memicu pelanggaran hak asasi manusia jika tidak dipertimbangkan secara matang dan penuh kehati-hatian.
Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia yang pernah menerima penghargaan internasional John Humphrey Freedom Award tahun 2005 di Montreal, Kanada, Warinussy menilai bahwa momentum 1 Desember sering kali disalahpahami.
“Saya menegaskan bahwa pemaknaan historis tanggal tersebut perlu dilihat secara objektif agar tidak menjadi alasan bagi negara menciptakan suasana represif setiap tahun,” ujarnya.
Dalam penjelasannya, Warinussy menyebut bahwa pada 1 Desember 1961 di Hollandia (kini Jayapura), yang terjadi adalah pengibaran Bendera Bintang Fajar serta menyanyikan lagu “Hai Tanahku Papua” karya Domine Isaac Samuel Kijne.
Ia menegaskan bahwa kegiatan tersebut dilakukan atas persetujuan Pemerintah Kerajaan Belanda yang saat itu masih memegang kendali pemerintahan di Tanah Papua.
Ia menambahkan bahwa tidak ada pembacaan teks proklamasi atau deklarasi Papua Merdeka pada tanggal tersebut. Karena itu, Warinussy menilai bahwa penyikapan negara terhadap tanggal 1 Desember seharusnya tidak didasarkan pada narasi provokatif yang mengarah pada situasi seolah-olah Tanah Papua sedang dalam kondisi konflik permanen.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Tanah Papua selama ini lebih sering menjadi daerah eksploitasi kekayaan alam, baik secara legal maupun ilegal.
“Di sisi lain, aspirasi Orang Asli Papua yang mempertanyakan jati diri dan hak dasar mereka justru sering dijawab negara dengan tuduhan makar dan separatisme, bukan dialog dan pendekatan yang lebih manusiawi,” jelasnya.
Warinussy menegaskan bahwa menjelang perayaan masa raya Adventus bagi umat Kristiani, negara seharusnya mengedepankan langkah damai. Ia menilai suasana tenang dan aman sangat dibutuhkan masyarakat Papua dalam mempersiapkan diri memasuki rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru.
Ia juga menyerukan agar pemerintah menata kembali tata kelola pemerintahan dan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Papua secara lebih berkeadilan. Menurutnya, penataan regulasi dan pemberian kesempatan kerja yang luas bagi Orang Asli Papua menjadi langkah mendesak untuk mengatasi akar masalah sosial dan ekonomi di wilayah tersebut.
“Saya mengingatkan bahwa menjadikan tanggal 1 Desember sebagai alasan untuk menghadirkan ketakutan hanya akan memperparah kondisi psikologis masyarakat. Dan saya berharap negara menghentikan praktik-praktik yang bersifat provokatif dan memberikan ruang bagi rakyat Papua merayakan Adventus, Natal, dan Tahun Baru dalam suasana damai di tanah mereka sendiri,” pungkasnya.
(Redaksi)












