Jerat Fakta | Manokwari— Tokoh hukum dan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy SH, menegaskan bahwa tanggal 1 Desember setiap tahun selalu diperingati oleh rakyat Papua sebagai momentum bersejarah yang berkaitan dengan berdirinya Negara Republik Papua Barat.
Momen ini, menurutnya, terus hidup dalam ingatan kolektif rakyat Papua hingga hari ini.
“Pada 1 Desember 1961, sekitar 64 tahun silam, terjadi pengibaran Bendera Bintang Fajar atau The Morning Star Flag di depan Kantor Nieuw Guinea Raad (Dewan Rakyat Nieuw Guinea). Upacara tersebut turut disertai lantunan lagu “Hai Tanahku Nieuw Guinea” oleh para hadirin,” kata Warinuusy kepada wartawan. Senin, (01/12/2025).
Ia menegaskan bahwa pengibaran bendera tersebut berlangsung dengan “izin” dari Pemerintah Netherland Nieuw Guinea yang saat itu memerintah atas mandat Ratu Kerajaan Belanda sebagai wilayah provinsi seberang lautan.
“Karena konteks tersebut, tidak ditemukan adanya deklarasi atau pembacaan teks proklamasi kemerdekaan pada saat itu,” ujarnya.
Namun, kata Warinuusy , dalam perkembangan politik setelah integrasi Papua ke dalam Indonesia, momentum 1 Desember justru sering digambarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai tanggal yang patut diwaspadai atau diamankan. Narasi ini, menurut Warinussy, menimbulkan dampak psikologis dan politis yang cukup besar.
Ia memaparkan bahwa selama sekitar 10 tahun terakhir, Tanah Papua sering diperlakukan seolah merupakan wilayah yang tidak aman.
“Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya pendropingan personel keamanan, baik TNI maupun Polri, ke berbagai daerah di Papua dalam jumlah signifikan,” jelasnya.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa ada saat yang sama, masyarakat Papua merespons dengan menggelar aksi-aksi damai di kota-kota besar seperti Jayapura dan Sorong. Aksi serupa juga digelar di berbagai kota di Pulau Jawa, Bali, dan Sulawesi.
“Meskipun sebagian aksi diwarnai gesekan dengan aparat keamanan, namun secara umum para peserta aksi tetap berupaya menjalankan hak konstitusional sebagaimana diamanatkan Pasal 28 UUD 1945,” jelasnya.
Menyoroti dinamika tersebut, Warinussy menilai pemerintah perlu mengambil langkah bijak. Ia mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, beserta seluruh jajarannya untuk menyikapi penyampaian aspirasi rakyat Papua secara arif dan proporsional, terutama ketika aspirasi itu disampaikan melalui aksi damai.
Menurut Warinussy, penyediaan ruang dialog damai antara pemerintah pusat di Jakarta dan masyarakat Papua kini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.
“Dialog semacam itu dinilainya sebagai jalan terbaik dalam merespons tuntutan dan aspirasi Papua secara bermartabat,” tambahnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa pendekatan damai harus menjadi pilihan utama negara.
“Cara damai melalui dialog adalah langkah yang paling urgen untuk dipertimbangkan dalam upaya penyelesaian tuntutan Papua Merdeka saat ini,” ujarnya.
(Redaksi)












