MAI-P KK Agamua Konferensi Pers: Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua

Jerat Fakta | Manokwari Papua Barat – Masyarakat Adat Independen Papua Komite Kota Agamua (MAI-P KK Agamua), Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, menggelar konferensi pers di Aula Sekretariat Manten, Jalan Pattimura, pada Senin (01/12/2025).

Kegiatan yang dihadiri puluhan pemuda dan masyarakat adat ini mengusung seruan utama: “Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua.”

Dalam pernyataannya, Koordinator Lapangan (Korlap) Demsak Kolago menegaskan bahwa momentum 64 Tahun Deklarasi Kemerdekaan West Papua menjadi titik evaluasi terhadap perjalanan sejarah dan kondisi sosial-politik masyarakat di Tanah Papua.

Kolago menjelaskan bahwa Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Namun 19 hari kemudian, Indonesia mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk mengklaim Papua sebagai bagian dari Indonesia. Berbagai perjanjian internasional kemudian dibuat tanpa melibatkan rakyat Papua, termasuk Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, yang menentukan masa depan Papua Barat.

Menurut MAI-P, kesepakatan tersebut dan proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dinilai tidak demokratis karena hanya melibatkan 1.025 orang dari total 809.337 penduduk yang memiliki hak suara.

Dalam pernyataannya, MAI-P menilai bahwa berbagai kebijakan negara, seperti UU Omnibus Law, UU Minerba, Otsus Jilid II, DOB, serta program transmigrasi, semakin membatasi ruang hidup masyarakat adat Papua. Mereka juga menyoroti operasi militer di berbagai wilayah seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Papua, hingga Maybrat, yang menurut mereka mengakibatkan pengungsian dan pelanggaran HAM.

Selain itu, MAI-P menilai kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta ekspansi perusahaan ekstraktif memperparah perampasan tanah adat, deforestasi, dan kerusakan lingkungan di Papua.

Dalam konferensi pers tersebut, MAI-P 30 poin sikap , antara lain:

1. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh, dan tolak seluruh pengembangan Blok tambang seperti Wabu, Weiland, Warim, dan Bobara.
2. Cabut seluruh izin usaha kelapa sawit dan industri ekstraktif di tanah Papua.
3. Mendukung pembangunan pasar mama-mama Papua.
4. Hentikan program transmigrasi ke Papua.
5. Cabut dan tolak Otsus serta hentikan pembentukan DOB.
6. Hentikan PSN berupa cetak sawah dan penanaman tebu di Merauke dan Jayawijaya.
7. Proses secara hukum seluruh pelaku pembunuhan terhadap warga Papua.
8. Mendukung perjuangan masyarakat adat Awyu, Grime Nawa, dan komunitas adat lainnya.
9. Sahkan RUU Masyarakat Adat.
10. Buka akses jurnalis dan tarik seluruh pasukan organik maupun nonorganik dari Papua.
11. Hentikan operasi militer dan praktik kriminalisasi masyarakat adat.
12. Indonesia diminta menghentikan praktik ekosida, genosida, dan etnosida di Papua.
13. Bebaskan tahanan politik Papua tanpa syarat.
14. PBB diminta bertanggung jawab dalam pelurusan sejarah dan penentuan nasib sendiri.
15. Mendukung kemerdekaan Palestina.
16. Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua.

Konferensi pers ini ditutup dengan penegasan bahwa perjuangan masyarakat adat Papua akan terus berlanjut. “Selamatkan tanah adat dan manusia Papua,” tegas kolago dalam pernyataan akhirnya.

Miliy Tabuni

Pemimpin Redaksi November 2,Desember 2025

Jerat Fakta Manokwari Papuabarat – Masyarakat Adat Independen Papua Komite Kota Agamua (MAI-P KK Agamua), Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan, menggelar konferensi pers di Aula Sekretariat Manten, Jalan Pattimura, pada Senin (01/12/2025).

Kegiatan yang dihadiri puluhan pemuda dan masyarakat adat ini mengusung seruan utama: “Selamatkan Tanah Adat dan Manusia Papua.”

Dalam pernyataannya, Koordinator Lapangan (Korlap) Demsak Kolago menegaskan bahwa momentum 64 Tahun Deklarasi Kemerdekaan West Papua menjadi titik evaluasi terhadap perjalanan sejarah dan kondisi sosial-politik masyarakat di Tanah Papua.

Kolago menjelaskan bahwa Papua Barat mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1 Desember 1961. Namun 19 hari kemudian, Indonesia mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk mengklaim Papua sebagai bagian dari Indonesia. Berbagai perjanjian internasional kemudian dibuat tanpa melibatkan rakyat Papua, termasuk Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, yang menentukan masa depan Papua Barat.

Menurut MAI-P, kesepakatan tersebut dan proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dinilai tidak demokratis karena hanya melibatkan 1.025 orang dari total 809.337 penduduk yang memiliki hak suara.

Dalam pernyataannya, MAI-P menilai bahwa berbagai kebijakan negara, seperti UU Omnibus Law, UU Minerba, Otsus Jilid II, DOB, serta program transmigrasi, semakin membatasi ruang hidup masyarakat adat Papua. Mereka juga menyoroti operasi militer di berbagai wilayah seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Papua, hingga Maybrat, yang menurut mereka mengakibatkan pengungsian dan pelanggaran HAM.

Selain itu, MAI-P menilai kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta ekspansi perusahaan ekstraktif memperparah perampasan tanah adat, deforestasi, dan kerusakan lingkungan di Papua.

Dalam konferensi pers tersebut, MAI-P 30 poin sikap , antara lain:

1. Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh, dan tolak seluruh pengembangan Blok tambang seperti Wabu, Weiland, Warim, dan Bobara.
2. Cabut seluruh izin usaha kelapa sawit dan industri ekstraktif di tanah Papua.
3. Mendukung pembangunan pasar mama-mama Papua.
4. Hentikan program transmigrasi ke Papua.
5. Cabut dan tolak Otsus serta hentikan pembentukan DOB.
6. Hentikan PSN berupa cetak sawah dan penanaman tebu di Merauke dan Jayawijaya.
7. Proses secara hukum seluruh pelaku pembunuhan terhadap warga Papua.
8. Mendukung perjuangan masyarakat adat Awyu, Grime Nawa, dan komunitas adat lainnya.
9. Sahkan RUU Masyarakat Adat.
10. Buka akses jurnalis dan tarik seluruh pasukan organik maupun nonorganik dari Papua.
11. Hentikan operasi militer dan praktik kriminalisasi masyarakat adat.
12. Indonesia diminta menghentikan praktik ekosida, genosida, dan etnosida di Papua.
13. Bebaskan tahanan politik Papua tanpa syarat.
14. PBB diminta bertanggung jawab dalam pelurusan sejarah dan penentuan nasib sendiri.
15. Mendukung kemerdekaan Palestina.
16. Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua.

Konferensi pers ini ditutup dengan penegasan bahwa perjuangan masyarakat adat Papua akan terus berlanjut.

“Selamatkan tanah adat dan manusia Papua,” tegas kolago dalam pernyataan akhirnya.

Miliy Tabuni

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *