Hari HAM 2025, Warinussy Desak Pembentukan KKR Papua untuk Ungkap Sejarah yang Tertutupi

Jerat Fakta | Manokwari — Hari ini, Rabu 10 Desember 2025, dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Di Tanah Papua, hari ini memiliki makna khusus mengingat panjangnya rentetan cerita pelanggaran HAM yang masih menjadi luka terbuka bagi masyarakat Papua.

Bagi rakyat Papua dari Sorong hingga Merauke, isu HAM bukan sekadar agenda tahunan, melainkan persoalan mendasar yang terus diperjuangkan oleh akademisi, aktivis, tokoh masyarakat, hingga para pembela HAM. Salah satu yang konsisten bersuara adalah Yan Christian Warinussy, SH, pembela HAM Papua dan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari.

Menurut Warinussy, sejak awal proses integrasi Papua ke dalam Indonesia, terdapat dugaan kuat adanya konspirasi politik internasional yang berpengaruh langsung terhadap hak-hak dasar Orang Asli Papua (OAP).

“Kami melihat sejarah Papua dipenuhi intervensi kekuatan besar dunia yang mengabaikan martabat Orang Asli Papua sebagai bagian dari ras Melanesia,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa sebelum masuknya Injil pada 5 Februari 1855, Papua telah dikenal sebagai wilayah berpenduduk kulit hitam dan berambut keriting, bagian dari rumpun negroid yang memiliki tradisi dan identitas budaya yang kuat.

“Identitas itu adalah warisan yang tidak boleh dihapuskan oleh narasi-narasi politik,” tegasnya.

Mengutip karya Dr. Greg Poulgrain dalam Bayang-bayang Intervensi, Warinussy menyoroti hilangnya Michael Rockefeller pada 18 November 1961 di pesisir selatan Papua. Poulgrain mengungkapkan bahwa peristiwa itu dijadikan propaganda global untuk menstigma masyarakat Papua sebagai pelaku kanibalisme.

“Narasi itu dibuat untuk melemahkan posisi politik Orang Papua pada saat mereka sedang menuju penentuan nasib sendiri,” kata Warinussy.

Menurutnya, misteri hilangnya Rockefeller yang tidak pernah diungkap secara jujur hingga saat ini menunjukkan adanya kepentingan besar di balik peristiwa itu.

“Ini bukan sekadar kisah orang hilang; ini adalah kisah yang memengaruhi masa depan sebuah bangsa,” ujar Warinussy menegaskan.

Di momentum Hari HAM Internasional 2025 ini, Warinussy secara tegas meminta pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah berani. Ia mendesak Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden tentang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua, sesuai amanat Pasal 46 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

“KKR Papua adalah mekanisme resmi untuk membuka kembali sejarah integrasi Papua. Tanpa itu, kebenaran akan terus terbenam dan rekonsiliasi tidak akan pernah tercapai,” ujar Warinussy dalam pernyataannya.

Ia menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa seperti Trikora 1961, Perjanjian New York 1962, hingga pelaksanaan Act of Free Choice 1969, tidak berlangsung dalam kondisi netral dan penuh tekanan.

“Ada terlalu banyak kepentingan internasional yang bermain, dan terlalu banyak suara Orang Asli Papua yang dibungkam,” ucapnya.

Dalam perspektifnya, pelanggaran HAM yang terjadi selama proses integrasi hingga masa setelahnya masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan mengarah pada genosida.

“Ini bukan tuduhan kosong. Ini adalah fakta sejarah yang telah ditulis, diteliti, dan dirasakan langsung oleh rakyat Papua sejak 60 tahun lalu,” katanya.

Lebih jauh, Warinussy menyoroti peran negara besar seperti Amerika Serikat dalam proses ini.

“Papua menjadi ajang perebutan kepentingan geopolitik, dan Orang Asli Papua menjadi korban paling terdampak dari permainan itu,” ujarnya dengan nada tegas.

Ia menutup pernyataannya dengan menyerukan pentingnya kejujuran negara dalam menyelesaikan persoalan sejarah Papua.

“Hanya dengan membuka kebenaran secara jujur, adil, dan transparan, kita dapat memberikan masa depan yang bermartabat bagi Orang Asli Papua. Negara tidak boleh lagi menutup mata atas sejarah ini,” tegasnya.

(Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *