Jerat Fakta | MANOKWARI – Momentum Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada 9 Desember 2025 dimanfaatkan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, untuk menyuarakan keprihatinan serius atas maraknya dugaan tindak pidana korupsi di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat.
Dalam keterangannya, Warinussy meminta Aparat Penegak Hukum (APH) di Indonesia, khususnya di Papua Barat, agar memberikan perhatian serius dan objektif terhadap sejumlah kasus dugaan korupsi yang hingga kini dinilai belum ditangani secara tuntas. Ia bahkan menduga kuat adanya upaya sistematis yang melibatkan oknum APH guna “mendinginkan” perkara-perkara tersebut.
“Kasus-kasus dugaan korupsi di Teluk Bintuni seolah berjalan di tempat. Bahkan ada indikasi kuat upaya pembiaran dan pelemahan proses hukum,” tegas Warinussy pada Selasa (16/12/2025).
Beberapa kasus yang disoroti LP3BH antara lain dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana hibah KPU Kabupaten Teluk Bintuni Tahun Anggaran 2019 dan 2020. Kasus tersebut meliputi penyalahgunaan dana hibah operasional KPU tahun 2019 serta pelaksanaan dana hibah Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Teluk Bintuni tahun 2020.
Selain itu, LP3BH juga menyoroti kasus dugaan korupsi pembangunan Jalan Simei–Obo Tahun Anggaran 2022. Dalam perkara ini, telah ada dua orang terpidana yang diputus bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Manokwari Kelas IA. Namun, masih terdapat satu nama yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), yakni Richard Talakua (RT).
Menurut Warinussy, RT yang merupakan mantan Kepala Inspektorat Kabupaten Teluk Bintuni diduga mengetahui aliran dana proyek Simei–Obo yang mengarah pada sejumlah oknum pejabat di masa kepemimpinan Bupati sebelum pasangan Yo Join.
“Penangkapan RT adalah kunci untuk membongkar dugaan korupsi berjamaah di Negeri Sisar Matiti,” ujarnya.
LP3BH juga menyoroti dugaan korupsi pembangunan Jembatan Kali Obie di Distrik Idoor Tahun Anggaran 2023, pekerjaan RTRW Kabupaten Teluk Bintuni Tahun Anggaran 2017–2021, serta proyek Peningkatan Jalan Mogoy–Merdey Tahun Anggaran 2023 yang dinilai belum menyentuh aktor utama penerima aliran dana proyek.
Ia menilai penegakan hukum dalam sejumlah kasus tersebut tidak berkeadilan, karena vonis justru diperberat terhadap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), hingga pegawai administrasi di lingkungan Dinas PUPR Provinsi Papua Barat. Sementara pihak-pihak yang diduga menikmati aliran dana proyek justru tidak tersentuh hukum.
“Ini menimbulkan dugaan adanya pembiaran oleh APH, baik di Kejaksaan Tinggi Papua Barat maupun Kejaksaan Negeri Teluk Bintuni,” kata Warinussy.
Ia juga menilai proses Pilkada Teluk Bintuni 2024 patut dipersoalkan kembali dari perspektif integritas dan pembersihan diri dari praktik korupsi.
Mengakhiri pernyataannya, Warinussy menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Kabupaten Teluk Bintuni harus dimulai secara serius pada tahun 2026 mendatang.
“Pasca Natal 2025, tidak boleh ada lagi toleransi. Penegakan hukum harus berdiri tegak demi keadilan dan masa depan Papua Barat,” pungkasnya.
(Redaksi)












