Jerat Fakta | SORONG – Tim Advokasi Keadilan untuk Rakyat Papua dari LP3BH Manokwari menilai penetapan empat aktivis Papua sebagai tersangka kasus makar oleh Polresta Sorong terkesan prematur dan berpotensi mengarah pada kriminalisasi. Keempat tersangka masing-masing adalah Abraham Goram Gaman (AGG), Piter Robaha (PR), Nikson May (NM), dan Maksi Sangkek (MS).
Hal itu disampaikan langsung oleh Yan Christian Warinussy, S.H., yang bertindak sebagai penasihat hukum dari keempat tersangka. Ia menegaskan bahwa langkah hukum yang dilakukan oleh Polresta Sorong patut dikritisi dari perspektif hukum pidana dan hak asasi manusia (HAM) universal.
“Kami menilai penerapan pasal makar dalam kasus ini sangat dipaksakan. Pasal 106, 108, dan 87 KUHP tidak serta-merta dapat diberlakukan hanya karena seseorang menyampaikan surat permintaan perundingan damai,” kata Warinussy, Sabtu (17/5/2025).
Menurutnya, surat yang disampaikan oleh para tersangka kepada Pemerintah Kota Sorong dan Pemerintah Provinsi Papua Barat adalah bentuk aspirasi damai, bukan upaya makar sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP.
“Kalau hanya mengantar surat dari apa yang mereka sebut Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), yang secara legal memang tidak diakui, apakah itu serta-merta dianggap makar?” ujar Warinussy mempertanyakan.
Tim Penasihat Hukum LP3BH berpandangan bahwa aparat penegak hukum semestinya lebih cermat dan proporsional dalam menerapkan pasal-pasal pidana terhadap warga sipil, khususnya dalam konteks kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi.
“Kriminalisasi terhadap upaya penyampaian pendapat secara damai adalah preseden buruk bagi demokrasi dan penegakan HAM di Tanah Papua,” tambahnya.
Meski begitu, Warinussy tetap menyatakan bahwa tim hukumnya menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Polresta Sorong. Ia menyampaikan penghargaan terhadap kinerja penyidik yang dipimpin oleh AKP Arifal Utama, S.T.K, S.I.K, S.H, M.H.
“Kami percaya bahwa penyidik memiliki itikad baik, tapi kami juga bertanggung jawab untuk memastikan agar proses hukum ini tidak melanggar hak-hak klien kami,” ujarnya.
Ia juga menyoroti soal masa penahanan terhadap para tersangka yang telah berlangsung sejak 28 April 2025. Menurutnya, batas maksimal penahanan oleh penyidik sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) dan (2) KUHAP adalah 20 hari.
“Kalau proses penyidikan belum selesai, maka perpanjangan hanya bisa dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum selama 40 hari. Itu harus dilandasi alasan yang sah,” tegas Warinussy.
Tim hukum juga menyatakan akan terus mengawal proses hukum ini hingga ke tahap persidangan. Mereka bahkan membuka kemungkinan mengajukan upaya hukum lain bila terdapat pelanggaran prosedural atau hak asasi.
“Kami akan pastikan klien kami mendapatkan perlakuan hukum yang adil. Tidak ada ruang bagi kriminalisasi di negara hukum,” ucap Warinussy dengan tegas.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena berkaitan erat dengan dinamika politik dan HAM di Tanah Papua. Banyak pihak mengingatkan agar aparat berhati-hati dalam menangani kasus-kasus bernuansa politik.
Warisan konflik dan ketidakadilan di Papua masih menyisakan luka yang dalam. Oleh karena itu, pendekatan dialog dan keadilan restoratif seharusnya lebih dikedepankan daripada pendekatan represif.
LP3BH Manokwari sebagai lembaga advokasi HAM menyatakan akan terus menyuarakan keadilan, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. (Saiba).