Jerat Fakta | Manokwari, — Sekretaris Jenderal Dewan Adat Papua (DAP), Yan Christian Warinussy, SH, kembali angkat bicara soal ketidakadilan yang dirasakan masyarakat adat di Teluk Bintuni terkait pemanfaatan gas alam dari LNG Tangguh. Rabu, (04/06/2025).
Ia menyoroti belum adanya realisasi hak masyarakat adat atas pasokan energi listrik dari sumber daya alam yang berasal dari wilayah mereka sendiri.
Menurut Warinussy, DAP telah mengetahui sejak tahun 2014 bahwa masyarakat di wilayah Teluk Bintuni dan Provinsi Papua Barat secara keseluruhan memiliki hak untuk memperoleh alokasi pasokan gas sebesar 21 juta kaki kubik per hari dari LNG Tangguh yang berlokasi di Saengga, Distrik Babo. Namun, hingga kini, hak tersebut belum juga direalisasikan dalam bentuk pasokan listrik yang memadai bagi warga adat.
Ia mempertanyakan alasan di balik lambatnya respons dari pihak-pihak terkait, termasuk SKK Migas, Byond Petroleum (BP) Inggris, serta Pemerintah Provinsi Papua Barat. Ketiga entitas tersebut dinilai belum menunjukkan langkah konkret untuk memastikan hak masyarakat adat atas energi ini terpenuhi.
“Apakah Pemprov Papua Barat telah memiliki skema atau mekanisme hukum dan teknis yang jelas untuk menyalurkan energi listrik dari LNG Tangguh kepada masyarakat adat?” ujar Warinussy dalam pernyataan tertulisnya.
DAP memandang bahwa hak atas energi ini merupakan bagian dari hak asasi masyarakat adat, sebagaimana diatur dalam Pasal 38, Pasal 40, dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam konteks otonomi khusus, masyarakat adat Papua seharusnya tidak lagi menjadi penonton di atas tanahnya sendiri.
Warinussy menyebutkan bahwa distribusi listrik dari sumber gas lokal sangat penting untuk menunjang usaha ekonomi rakyat asli Papua. “Sumber daya alam yang diambil dari Bumi Cenderawasih seharusnya memberi manfaat langsung kepada masyarakat lokal, bukan hanya kepada wilayah lain di Indonesia bahkan luar negeri,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa hingga saat ini banyak kampung di Teluk Bintuni masih gelap gulita saat malam tiba, sementara gas yang diambil dari wilayah mereka telah menerangi kota-kota besar dan kawasan industri lain di luar Papua.
Menurut Warinussy, hal ini mencerminkan ketimpangan dan pengabaian hak-hak dasar masyarakat adat. DAP melihat kondisi ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang sudah berlangsung terlalu lama dan harus segera dihentikan.
Dalam kapasitasnya sebagai pimpinan DAP, Warinussy mendesak DPR Provinsi Papua Barat agar segera mengambil langkah tegas dengan memanggil SKK Migas, BP Indonesia, dan Gubernur Papua Barat untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP).
RDP tersebut, menurutnya, harus fokus membahas pelaksanaan komitmen yang telah dicantumkan dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) oleh pihak perusahaan saat memulai proyek eksploitasi gas alam di Teluk Bintuni.
“Kami mendesak agar suara masyarakat adat segera didengar dan diprioritaskan. Mereka berhak atas terang dari tanah yang telah mereka jaga turun-temurun,” tutup Warinussy.
DAP berkomitmen akan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, termasuk melalui jalur hukum dan advokasi jika diperlukan, demi tercapainya keadilan bagi rakyat Papua di atas tanah leluhurnya sendiri. (***)