LP3BH Soroti Dugaan Penyiksaan dan Pengungsian Massal di Yahukimo

Manokwari | Jerat Fakta – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, melalui Direktur Eksekutifnya, Yan Christian Warinussy SH, mendesak Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk segera menghentikan operasi keamanan bersandi “Operasi Damai Cartenz” di wilayah Pegunungan Papua dan Papua Tengah.

Dua wilayah tersebut saat ini telah berstatus sebagai Daerah Otonom Baru (DOB) yaitu Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Pegunungan. Meski demikian, pendekatan keamanan yang digunakan dinilai justru memperburuk situasi dan memperbesar potensi pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil.

LP3BH mengaku menerima berbagai laporan dari mitra kerja Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di wilayah tersebut, yang menggambarkan maraknya aksi saling serang antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata TPNPB, namun justru berdampak langsung terhadap masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam konflik.

“Salah satu modus operandi yang sering digunakan adalah dalih bahwa warga sipil dijadikan tameng oleh kelompok bersenjata. Ini berakibat pada penyisiran brutal di wilayah pemukiman penduduk sipil,” ujar Warinussy.

Kejadian terbaru, menurut LP3BH, adalah insiden penembakan yang menewaskan seorang warga sipil bernama Mesak Apisalel (45) di Kampung Anali, Desa Yeleas, Distrik Tangma, Kabupaten Yahukimo, pada Minggu (15/6/2025). Insiden tersebut terjadi akibat baku tembak antara personel TNI dan anggota TPNPB.

Akibat insiden ini, sekitar 600 warga sipil dilaporkan mengungsi ke dalam hutan karena trauma dan ketakutan akan menjadi korban berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan keamanan saat ini telah menimbulkan krisis kemanusiaan yang mendesak.

LP3BH juga menyoroti dugaan penangkapan di luar hukum terhadap dua warga sipil tidak bersenjata, yakni Orgen Elopere (17) dan Sisi Yelemaken (25), oleh anggota TNI di Pos Ongolo. Keduanya diduga ditahan secara ilegal sejak 13 hingga 16 Juni 2025.

Selain tidak dilengkapi prosedur hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), keduanya juga disebut mengalami penyiksaan fisik selama masa penahanan. Tindakan ini, menurut LP3BH, merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia.

“Mereka tidak diberi akses hukum, tidak dibawa ke hadapan penyidik sipil, dan disiksa dalam tahanan. Ini jelas-jelas pelanggaran HAM berat,” ujar Warinussy lagi.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, LP3BH mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) untuk segera membentuk tim investigasi guna menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat di Distrik Tangma, Yahukimo.

Menurut Warinussy, operasi keamanan di Tanah Papua perlu dikaji ulang secara total. Pendekatan militeristik hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat sipil dan memperkeruh upaya perdamaian di Papua.

LP3BH menyarankan agar Presiden Prabowo segera mengambil langkah konkret untuk melakukan demiliterisasi secara menyeluruh di Papua, dimulai dari wilayah Pegunungan dan Papua Tengah.

“Langkah demiliterisasi akan membuka ruang bagi dialog damai yang sejati, serta menghormati hak dasar masyarakat Papua sebagai warga negara Indonesia,” jelasnya.

Langkah ini juga sejalan dengan amanat Konstitusi UUD 1945 serta Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin perlindungan terhadap hak hidup dan kebebasan dari penyiksaan bagi setiap warga negara.

Di akhir pernyataannya, Warinussy menegaskan bahwa LP3BH akan terus mengawal isu ini dan mengajak semua elemen masyarakat sipil, gereja, dan komunitas adat di Papua untuk bersatu menyuarakan penghentian kekerasan bersenjata di Tanah Papua.

(Udir Saiba)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *