Jerat Fakta | Manokwari – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menyatakan keprihatinannya atas kondisi hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua yang hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda membaik, meski Indonesia telah berusia 80 tahun pada 17 Agustus 2025.
Di saat seluruh rakyat Nusantara merayakan HUT ke-80 Kemerdekaan RI dengan penuh sukacita, situasi berbeda justru terlihat di wilayah Kabupaten Intan Jaya, Papua Pegunungan, dan Papua Tengah. Konflik bersenjata masih terus menelan korban, baik dari TNI/Polri, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), maupun masyarakat sipil yang tidak bersalah.
Sebagai perbandingan, masyarakat di Aceh merayakan 20 tahun perdamaian pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tahun 2005. Perjanjian tersebut menjadi jalan bagi terciptanya stabilitas dan kehidupan damai di Aceh hingga hari ini. Papua, sebaliknya, justru diwarnai pemekaran hingga terbentuk enam Daerah Otonomi Baru (DOB).
Menurut LP3BH, kebijakan pemekaran ini dinilai mirip strategi lama “devide et impera” yang pernah dijalankan pemerintah kolonial Belanda. Di balik itu, terpusatnya kendali negara atas sumber daya alam di Papua—seperti emas di Tembagapura, Blok Wabu di Intan Jaya, LNG Teluk Bintuni, hingga Food Estate di Merauke—menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mengambil alih kekayaan Papua.
Konflik bersenjata yang terus digelorakan dengan label “gangguan keamanan oleh KKB” semakin disadari masyarakat Papua sebagai bentuk marginalisasi. Munculnya perlawanan rakyat di Intan Jaya, Merauke, Dogiyai, Maybrat, Moskona, hingga Teluk Bintuni, menjadi bukti kesadaran sosial yang tumbuh sejalan dengan pemikiran tokoh pendidikan kaum tertindas, Paulo Freire.
LP3BH menilai bahwa sebenarnya pemerintah telah memahami keinginan Orang Asli Papua untuk menyelesaikan konflik secara damai. Hal ini bahkan diatur dalam Pasal 44, 45, dan 46 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Namun sayangnya, dalam praktiknya, negara justru terkesan enggan menempuh jalur damai.
Inisiatif penyelesaian damai melalui dialog yang ditawarkan Jaringan Damai Papua (JDP) maupun pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana diamanatkan UU Otsus, hingga kini belum pernah direalisasikan oleh pemerintah.
Prinsip dasar penyelesaian konflik seharusnya ditempuh melalui dialog, negosiasi, atau perundingan—seperti yang berhasil dilakukan dalam MoU Helsinki untuk Aceh. Namun, pendekatan ini belum dipandang relevan oleh pemerintah pusat dalam kasus Papua.
Kondisi ini semakin menjadi batu sandungan bagi terciptanya perdamaian, karena pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari eksploitasi SDA di Papua justru diuntungkan dengan berlanjutnya konflik. Papua masih dianggap sebagai “rumah masa depan” bagi Indonesia, namun dengan harga penderitaan rakyatnya sendiri.
LP3BH menegaskan, tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah pusat untuk membuka ruang dialog sejati, maka situasi HAM di Papua akan terus memburuk. Usia 80 tahun kemerdekaan RI seharusnya menjadi momentum refleksi untuk menghentikan lingkaran kekerasan dan menempuh jalan damai yang bermartabat.
(Udir Saiba)