Jerat Fakta | Asmat — Polemik hak wilayah Bandara Ewer di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan, kembali mencuat dan menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat setempat. Persoalan utama terletak pada pembayaran tanah adat yang hingga kini belum diselesaikan sepenuhnya oleh pemerintah.
Salah satu tokoh adat menuturkan, sejak masa pemerintahan Elisa Kambu, masyarakat diminta menyerahkan lahan sepanjang 1.000 meter untuk pembangunan runway Bandara Ewer. Saat itu, di atas lahan tersebut terdapat tanaman pisang dan sagu milik warga yang kemudian dianggap sebagai bentuk pembayaran hak wilayah oleh pemerintah.
Namun, menurut tokoh adat tersebut, masih ada sekitar 600 meter lahan yang belum pernah dibayar hingga kini. Ironisnya, pemerintah justru menambah kebutuhan lahan hingga 1000 meter, yang berimbas pada penggusuran sejumlah rumah warga. Meski sebagian rumah telah diganti rugi, masyarakat menilai kompensasi tersebut tidak bisa disamakan dengan pembayaran hak wilayah tanah adat.
“Kami merasa diperlakukan tidak adil. Rumah yang digusur memang diganti rugi, tapi itu bukan berarti pemerintah sudah sekaligus membayar hak tanah kami,” ungkap seorang tokoh adat di Ewer, Jumat (22/8).
Ia menambahkan, saat ini ada perusahaan yang akan kembali mengerjakan pembangunan runway di Bandara Ewer. Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa meminta agar dilakukan peninjauan ulang terkait hak tanah yang belum terbayarkan.
Tokoh adat itu juga mengungkapkan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki surat dari pihak Agraria. Dalam surat tersebut tertulis jelas bahwa bila ada perubahan terkait lahan, maka harus dilakukan musyawarah kembali antara pihak pertama dan pihak kedua. Sayangnya, hingga kini belum ada pertemuan resmi antara masyarakat adat dan pihak bandara.
“Seharusnya ada tatap muka. Tetapi sampai sekarang pemerintah maupun pihak bandara tidak pernah duduk bersama kami. Padahal ini menyangkut hak hidup masyarakat Asmat,” ujarnya.
Pada tahun 2023, ketika Plt Bupati Willem Andre da Costa masih menjabat, masyarakat bahkan membentuk Tim 20 dan berangkat ke Jakarta untuk menuntut pembayaran hak wilayah sebesar Rp60 miliar kepada Kementerian terkait. Upaya tersebut menghasilkan keluarnya surat dari menteri yang memerintahkan agar pemerintah segera menyelesaikan kewajiban pembayaran hak masyarakat.
Dalam kesempatan itu, Tim 20 juga bertemu Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Asmat. Ironisnya, ketua Pansus yang dulu mendampingi masyarakat kini justru sudah menjabat sebagai bupati definitif. Hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat karena persoalan lahan tidak kunjung diselesaikan.
Menurut penjelasan tokoh adat, saat itu Pansus DPRD hanya berani mengakomodasi Rp10 miliar dari total tuntutan Rp60 miliar. Akan tetapi, Plt Bupati Willem Andre da Costa hanya membayarkan Rp2,3 miliar kepada masyarakat. Sisa pembayaran dijanjikan akan dituntaskan oleh bupati definitif.
Hingga saat ini, masih terdapat lahan sepanjang 600 meter yang belum dibayarkan kepada masyarakat. Jika ditambahkan dengan lahan tambahan 1.000 meter untuk pembangunan runway, maka total keseluruhan mencapai 1.600 meter lahan adat yang masih bermasalah.
“Masyarakat tidak menolak pembangunan. Kami hanya ingin hak kami dibayar sesuai kesepakatan. Kalau memang harus melalui Agraria, mari kita sama-sama ukur ulang tanah kami agar jelas berapa yang sudah dan belum dibayarkan,” tegas tokoh adat tersebut.
(Redaksi)