Jerat Fakta, Lanny Jaya – Papua Pegunungan.
Komunitas Sepaham Pemuda-Pemudi Beam Kwiyawagi kembali menyuarakan sikap kritis mereka terhadap meningkatnya kehadiran militer di Kabupaten Lanny Jaya. Dalam pernyataan resmi yang diterima redaksi Jerat Fakta pada Rabu (3/9/2025), mereka menilai pengerahan aparat TNI-Polri organik maupun non-organik di berbagai distrik telah menimbulkan keresahan masyarakat sipil.
Koordinator lapangan, Yosep Kolago, menegaskan bahwa tanpa adanya kondisi darurat yang nyata, penempatan pasukan bersenjata di wilayah-wilayah adat justru memicu trauma massal. “Ini mengganggu psikologi rakyat sipil untuk hidup tenang di atas tanahnya sendiri sebagai manusia Papua yang layak hidup,” ujarnya melalui pesan WhatsApp kepada media.
Menurut Yosep, kehadiran militer dalam jumlah besar kini terlihat di Distrik Kwiyawagi, Goabalim, Melagi, hingga Melagineri. Aktivitas warga menjadi terganggu, bahkan banyak masyarakat adat merasa tidak lagi memiliki ruang aman untuk bekerja maupun menjalani kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa penempatan militer ini tidak hanya mengancam kenyamanan warga, tetapi juga membuka jalan bagi diskriminasi dan penindasan sistematis. “Kami melihat ada kepentingan tersembunyi di balik pengerahan pasukan, yakni upaya penguasaan tanah adat serta sumber daya alam milik masyarakat,” kata Yosep.
Dalam keterangan tersebut, komunitas pemuda menilai bahwa secara hukum, pengerahan militer non-organik ke Papua telah melanggar beberapa regulasi nasional. Mereka mengutip Pasal 28G ayat 1 UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, hingga UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mensyaratkan keputusan politik negara untuk pelibatan pasukan dalam operasi selain perang.
Selain itu, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua Pasal 67 ayat 1 menegaskan bahwa keamanan di Papua harus dikelola dengan mengutamakan peran kepolisian, serta mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. “Artinya, apa yang terjadi di Lanny Jaya hari ini jelas menciderai prinsip otonomi khusus,” tegas Yosep.
Berdasarkan analisis itu, Sepaham Pemuda-Pemudi Beam Kwiyawagi menyampaikan delapan butir tuntutan kepada pemerintah Indonesia. Pertama, mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Panglima TNI Jenderal Agus Subianto untuk segera menarik seluruh pasukan TNI-Polri dari Kabupaten Lanny Jaya dan Tanah Papua pada umumnya.
Kedua, menghentikan segala bentuk kekerasan militer terhadap masyarakat sipil dan aktivis pro-demokrasi, baik di Papua maupun wilayah lain di Indonesia. Menurut mereka, tindakan represif hanya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Ketiga, negara diminta untuk bertanggung jawab menangkap dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua. Mereka menilai masih banyak kasus yang belum terselesaikan, sehingga korban dan keluarganya tidak pernah mendapatkan keadilan.
Keempat, mereka menuntut dibukanya akses jurnalis nasional dan internasional ke seluruh Tanah Papua. Transparansi informasi dianggap sebagai syarat utama untuk mencegah manipulasi data maupun penutupan fakta di lapangan.
Kelima, komunitas ini juga menuntut pengusutan tuntas kasus pembunuhan Tobias Silak di Yahukimo. Mereka menilai kasus tersebut adalah contoh nyata lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat sipil Papua.
Keenam, mendesak pembebasan tanpa syarat terhadap empat tahanan politik (tapol) NFRPB yang saat ini masih ditahan oleh pemerintah Indonesia. Mereka menganggap penahanan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Ketujuh, dalam pernyataan sikapnya, komunitas pemuda juga menyoroti keberadaan PT Freeport Indonesia. Mereka menuntut penutupan perusahaan tambang emas terbesar itu karena dinilai menjadi akar konflik dan perampasan tanah adat di Papua.
Kedelapan, mereka mendesak agar hak penentuan nasib sendiri segera diberikan kepada bangsa Papua sebagai solusi demokratis. Menurut mereka, ini adalah jalan keluar terbaik untuk menghentikan lingkaran kekerasan yang terus terjadi.
Pernyataan sikap yang ditandatangani Korlap Yosep Kolago dan Marten Sekrefat itu ditutup dengan salam demokrasi. “Selamatkan tanah adat dan manusia Papua,” tulis mereka, sambil menegaskan bahwa perjuangan ini dilakukan demi masa depan generasi muda Papua yang lebih bermartabat.
(Marten Srekrefat)