Sekjen PBB Diminta Ungkap Pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua

 Jerat Fakta | Manokwari – Kedatangan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, ke Papua New Guinea (PNG) mendapat sorotan penting terkait pengungkapan kebenaran faktual dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Tanah Papua selama lebih dari lima dekade.

Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, menegaskan bahwa aparat keamanan dan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah berulang kali melakukan tindakan yang termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

“Fakta itu sudah lama ditulis oleh berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) baik di Papua, Indonesia maupun dunia internasional,” ujar Warinussy. Rabu, (03/09/2025).

Ia menunjuk pada bukti pengakuan negara yang tertuang dalam konsideran huruf f dan j Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Menurut Warinussy, hal tersebut seharusnya membuka kesadaran bersama semua pemangku kepentingan bahwa Tanah Papua telah menjadi “ladang pembantaian” orang asli Papua sejak 1963 hingga saat ini.

Ia mengingatkan bahwa pada 1969, bersamaan dengan penyelenggaraan Act of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat/Pepera), banyak terjadi pembunuhan di luar proses hukum dan penghilangan paksa terhadap warga Papua.

“Di Manokwari, LP3BH mencatat sebanyak 53 orang Papua asli diduga dieksekusi secara kilat dan dikuburkan di sebuah lubang mirip ‘lubang buaya’ di kawasan Arfay pada 28 Juli 1969,” jelasnya.

Deretan dugaan pelanggaran HAM berat juga berlanjut di berbagai tempat. Pada 2001 terjadi di Wasior, tahun 2003 di Wamena, dan pada 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai. “Korban selalu orang asli Papua, sementara penyelesaian hukum sulit terwujud karena alasan politis dan hilangnya bukti,” tambah Warinussy.

Sebagai advokat dan pembela HAM yang pernah menerima penghargaan internasional “John Humphrey Freedom Award” tahun 2005 di Montreal, Kanada, Warinussy mendesak Antonio Guterres untuk mendengar jeritan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat di Papua.

Ia mengajukan tiga tuntutan. Pertama, PBB diminta menerima aspirasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Papua sejak 1963 hingga kini sebagai kasus kejahatan kemanusiaan berkesinambungan akibat kepentingan ekonomi dan politik penguasa.

Kedua, dugaan kejahatan kemanusiaan sebelum, saat, dan sesudah Act of Free Choice 1969 harus diinvestigasi secara bebas, netral, dan independen oleh Komisi Tinggi HAM PBB. “Bahkan cenderung mengarah pada kejahatan genosida,” tegasnya.

Ketiga, Sekjen PBB perlu segera memfasilitasi aspirasi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua asli secara adil, transparan, dan bermartabat, guna mencegah berlanjutnya pelanggaran HAM yang merugikan aspek sipil, lingkungan, ekonomi, hingga politik.

“Sebagai advokat dan pembela HAM, saya akan terus memperjuangkan hak asasi orang Papua asli sampai mereka memperoleh keadilan, baik di dalam NKRI maupun melalui intervensi dunia internasional,” tutup Warinussy.

(Udir Saiba)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *