Makassar, Jerat Fakta – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana makar dengan terdakwa Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, Nikson May, dan Maksi Sangkek kembali digelar di ruang sidang Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, MH pada Pengadilan Negeri Makassar Kelas I A Khusus, Senin (15/9).
Perkara ini terbagi dalam dua nomor register, yakni perkara nomor 967 dan 968 dengan terdakwa Abraham Goram Gaman serta Piter Robaha yang dipimpin oleh Hakim Ketua Herbert Harefa, SH, MH. Sementara perkara nomor 969 dan 970 dengan terdakwa Nikson May dan Maksi Sangkek dipimpin oleh Hakim Ketua Hendry Manuhua, SH, M.Hum.
Dalam sidang kali ini, para terdakwa menyampaikan eksepsi atau nota keberatan pribadi yang mereka tulis tangan sepanjang tiga halaman. Eksepsi tersebut dibacakan langsung oleh Abraham Goram Gaman di hadapan majelis hakim.
Para terdakwa secara tegas membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang menyebut adanya permufakatan jahat untuk mendirikan Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Menurut mereka, tuduhan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat.
“Ketika NFRPB dideklarasikan kembali pada 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, kami sama sekali tidak berada di sana. Jadi bagaimana mungkin kami dituduh ikut bermufakat jahat?” ungkap para terdakwa melalui eksepsi mereka.
Mereka juga menjelaskan bahwa pada 14 April 2025, kegiatan yang dilakukan hanyalah mengantarkan surat dan dokumen dari Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut, kepada pejabat daerah di Papua Barat dan Kota Sorong. Menurut para terdakwa, tindakan tersebut semata-mata bentuk kepatuhan terhadap instruksi pimpinan.
Atas dasar itu, para terdakwa meminta kepada majelis hakim agar surat dakwaan yang disusun JPU dinyatakan batal demi hukum atau setidaknya ditolak. Mereka berharap majelis hakim dapat melihat duduk perkara secara objektif dan adil.
Sementara itu, tim penasihat hukum terdakwa juga menyampaikan nota keberatan. Berbeda dengan eksepsi pribadi terdakwa, nota eksepsi dari penasihat hukum lebih menyoroti aspek formalitas surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut tim kuasa hukum, dakwaan JPU tidak disusun dengan cermat dan terkesan hanya menyalin atau “copy paste” tanpa merinci peran masing-masing terdakwa. Hal ini membuat pasal-pasal yang disangkakan tampak seragam dan tidak menunjukkan kejelasan perbuatan.
“Dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, klien kami seakan dipaksakan menjadi tersangka makar. Padahal, fakta menunjukkan mereka hanya menjalankan tugas mengantar surat resmi dari Forkorus Yaboisembut,” jelas penasihat hukum.
Tim penasihat hukum pun meminta majelis hakim untuk menolak seluruh dakwaan JPU dan menerima eksepsi baik dari para terdakwa maupun kuasa hukum. Dengan demikian, para terdakwa dapat dibebaskan demi hukum.
Sidang kemudian ditunda dan akan dilanjutkan kembali pada Rabu (17/9) mendatang dengan agenda mendengarkan tanggapan JPU terhadap nota eksepsi yang telah disampaikan baik oleh terdakwa maupun tim penasihat hukumnya.
(Udir Saiba)