Jerat Fakta | Manokwari, Papua Barat – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Mnukwar mengeluarkan himbauan umum kepada seluruh rakyat Papua untuk memperingati momentum 63 tahun Perjanjian Roma (Roma Agreement) yang jatuh pada 30 September 2025.
Melalui rilis yang disampaikan kepada media di Manokwari pada Senin malam (29/9/2025), Juru Bicara KNPB Mnukwar, Edison Iyayi, menegaskan bahwa peringatan ini penting untuk merefleksikan perjalanan panjang sejarah politik Papua sejak perjanjian tersebut ditandatangani.
KNPB Mnukwar berencana menggelar diskusi publik dan mengajak seluruh lapisan masyarakat Papua di wilayah Domberai—termasuk Kabupaten Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, dan Anggi—untuk menyikapi peringatan ini sesuai gaya dan cara masing-masing.
Dalam seruannya, KNPB juga mengundang berbagai elemen masyarakat, mulai dari organisasi perlawanan, organisasi sosial, mahasiswa, kelompok buruh, nelayan, petani, hingga tukang ojek dan tukang parkir, untuk hadir dalam diskusi publik tersebut.
Perjanjian Roma yang ditandatangani pada 30 September 1962 di Roma, Italia, merupakan tindak lanjut dari Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Namun, menurut KNPB, perjanjian tersebut tidak melibatkan satu pun wakil rakyat Papua, meskipun menyangkut masa depan dan keberlangsungan hidup orang Papua.
KNPB menilai, perjanjian itu menjadi dasar klaim Indonesia atas Papua setelah penyerahan administrasi dari Belanda kepada Indonesia melalui UNTEA pada 1 Mei 1963. Ironisnya, sebelum proses penentuan nasib sendiri dilakukan, Freeport telah menandatangani kontrak pertambangan dengan pemerintah Indonesia pada 1967.
“Fakta ini membuktikan bahwa klaim Indonesia atas Papua dilakukan jauh sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), yang pada kenyataannya penuh manipulasi, intimidasi, dan tidak demokratis,” ujar Edison Iyayi dalam rilisnya.
KNPB menyoroti bahwa sejak era Orde Baru hingga reformasi, situasi Papua terus diwarnai dengan operasi militer, penangkapan, penembakan, hingga pelanggaran HAM berat. Otonomi Khusus (Otsus) dan Daerah Otonomi Baru (DOB) dianggap hanya menjadi “gula-gula” untuk meredam perlawanan rakyat Papua.
Lebih lanjut, KNPB menegaskan bahwa eksploitasi sumber daya alam di Papua masih terus berlangsung, sementara rakyat Papua terus mengalami marginalisasi, diskriminasi, dan kekerasan negara.
Dalam himbauannya, KNPB Mnukwar juga memberikan tiga poin penting. Pertama, rakyat Papua dilarang mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 30 September, baik sengaja maupun tidak sengaja. Kedua, rakyat diminta tidak terpancing provokasi atau isu-isu propaganda. Ketiga, KNPB menegaskan tidak bertanggung jawab jika ada pihak yang tetap mengibarkan bendera tersebut di luar instruksi organisasi.
“Kami hanya mengajak rakyat untuk memperingati momentum ini dengan cara masing-masing sesuai profesi dan kondisi, bukan dengan tindakan yang bisa dimanfaatkan pihak lain untuk menekan perjuangan rakyat Papua,” tegas Edison.
Pernyataan resmi KNPB Mnukwar ini ditutup dengan doa agar rakyat Papua tetap diberi kekuatan dalam perjuangan menuju cita-cita politik mereka. “Kiranya Allah leluhur bangsa Papua memberkati kita sampai Papua merdeka,” tutup Edison Iyayi.
(Marten Srekrefat)












