LJerat Fakta | Manokwari, Papua Barat — Menjelang peringatan 100 tahun atau satu abad Nubuatan Domine Isaac Semuel Kijne, yang dikenal sebagai tonggak lahirnya peradaban Papua, muncul seruan reflektif dan kritik tajam dari kalangan intelektual dan pembela hak asasi manusia di Tanah Papua.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH, mempertanyakan apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dari masa ke masa hingga kini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, benar-benar telah menghadirkan “peradaban” yang dimaksud oleh Kijne bagi seluruh rakyat Papua, khususnya orang Papua asli (OAP).
Sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender/HRD) di Tanah Papua, Warinussy menilai bahwa fakta di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya. Menurutnya, negara masih sering memperlihatkan wajah kebiadaban terhadap orang Papua asli melalui berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM.
Ia menegaskan bahwa sejak 1 Mei 1963, ketika Tanah Papua diintegrasikan secara administratif ke dalam wilayah Indonesia, kekerasan negara terhadap rakyat Papua terus berulang. Puncaknya terjadi setelah pelaksanaan Act of Free Choice (Pepera), yang disebut pemerintah sebagai Penentuan Pendapat Rakyat, namun hingga kini masih menyisakan luka sejarah yang mendalam di hati orang Papua.
“Sejak itu rakyat Papua senantiasa menjadi sasaran tindakan kekerasan oleh negara melalui aparat TNI dan Polri. Jika ada yang mempertanyakan integrasi Papua, maka ujungnya selalu dikaitkan dengan makar, separatis, atau bahkan menjadi korban penghilangan paksa,” ungkap Warinussy.
Peraih Penghargaan Internasional John Humphrey Freedom Award 2005 di Kanada ini menyerukan agar Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua dan Gereja Katolik dari berbagai keuskupan di Papua bersuara lantang dalam momentum 100 tahun nubuatan Kijne. Ia juga mengajak denominasi gereja lainnya untuk secara kritis meminta pertanggungjawaban negara atas berbagai bentuk pelanggaran HAM yang telah terjadi di Tanah Papua, baik secara sistematis maupun struktural.
Warisan ajaran Domine Isaac Semuel Kijne, lanjutnya, lahir dari cita-cita luhur membangun peradaban orang Papua yang berakar pada iman, pendidikan, dan kemanusiaan. Di atas bukit Aitumieri, Miei Wondama — kini masuk wilayah Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat — Kijne pernah mengucapkan kalimat profetik yang kemudian dikenal luas sebagai Nubuatan Kijne.
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua. Barangsiapa memiliki hikmat datang untuk memimpin bangsa Papua, tidak akan bisa, karena bangsa Papua akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri,” demikian bunyi nubuatan tersebut.
Bagi umat Kristiani, khususnya warga GKI di Tanah Papua, pesan Kijne bukan sekadar sejarah atau simbol keagamaan, tetapi merupakan panggilan untuk membangun manusia Papua yang bermartabat, beriman, dan mandiri. Namun, menurut Warinussy, perayaan seratus tahun nubuatan tersebut tidak boleh hanya diramaikan dengan pesta dan keramaian semata, melainkan harus menjadi momen perenungan spiritual dan moral.
“Apakah benar bangsa Papua telah menjadi beradab saat ini? Apakah mereka telah memperoleh perlakuan yang adil dan manusiawi dari negara di atas tanah leluhurnya sendiri?” tanya Warinussy retoris.
Ia juga mempertanyakan apakah bangsa Papua telah diberi ruang secara beradab untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa harus dicurigai, dibungkam, atau bahkan dibunuh hanya karena memiliki pandangan politik yang berbeda. Menurutnya, dialog terbuka dan bermartabat antara Jakarta dan Papua merupakan kebutuhan mendesak bagi masa depan yang damai dan berkeadilan.
“Peringatan 100 Tahun Nubuatan Kijne harus menjadi momen krusial refleksi nasional, bukan sekadar seremoni,” tegas Warinussy. “Inilah saatnya bangsa ini mengakui keberadaan orang Papua asli sebagai entitas dan komunitas yang memiliki hak asasi manusia penuh, baik di masa kini maupun masa depan.”












