Jerat Fakta | Jayapura – Sejumlah aktivis Papua menyatakan penolakan tegas terhadap rencana program penanaman kelapa sawit di Tanah Papua yang disinggung dalam agenda percepatan pembangunan nasional di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Penolakan tersebut didasari kekhawatiran akan dampak lingkungan berupa kerusakan hutan dan potensi bencana banjir.
Ketua LSM WGAB Papua, Yerry Basri Mak, SH, MH, kepada media Cnews menyampaikan bahwa pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan para gubernur serta bupati dan wali kota se-Tanah Papua memang membahas percepatan pembangunan Papua secara menyeluruh.
“Dalam pertemuan itu, Presiden berbicara tentang percepatan pembangunan di Tanah Papua, dan itu kami hargai sebagai bentuk perhatian negara,” ujar Yerry. Jumat, (19/12/2025).
Ia juga mengapresiasi kebijakan Presiden Prabowo yang menaikkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua dari Rp10 triliun menjadi Rp12 triliun. Menurutnya, kebijakan tersebut merupakan langkah luar biasa untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Kenaikan dana Otsus ini sangat luar biasa dan harus benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat Papua,” katanya.
Selain itu, Yerry mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo juga secara tegas mengingatkan para kepala daerah di Papua agar tidak menyalahgunakan dana Otsus.
“Presiden menegaskan agar gubernur, bupati, dan wali kota tidak menggunakan dana Otsus untuk jalan-jalan ke luar negeri atau terlalu lama berada di Jakarta,” ungkapnya.
Presiden bahkan, lanjut Yerry, telah meminta Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas para kepala daerah di Tanah Papua.
“Presiden minta Mendagri mengawasi agar kepala daerah tidak terlalu sering dan terlalu lama berada di Jakarta maupun luar negeri,” tambahnya.
Namun demikian, Yerry menegaskan bahwa para aktivis Papua menolak keras rencana penanaman sawit di hutan-hutan Papua, meskipun dibungkus dengan alasan pembangunan.
“Kami menolak hasil pertemuan yang mengarah pada penanaman sawit di Tanah Papua. Ini akan membuka hutan, menebang pohon-pohon, dan merusak alam Papua,” tegas Yerry.
Menurutnya, pembukaan hutan untuk sawit berpotensi besar menimbulkan bencana ekologis. Ia mencontohkan bencana banjir yang terjadi di Aceh dan Medan akibat kerusakan lingkungan.
“Kami tidak mau Papua bernasib sama seperti Aceh dan Medan. Jika hutan dibongkar untuk sawit, banjir dan kerusakan lingkungan pasti terjadi. Karena itu, kami aktivis Papua dengan tegas menolak penanaman sawit di Tanah Papua,” pungkas Yerry Basri Mak.
(Redaksi)












