Jerat Fakta | Manokwari – Persidangan lanjutan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Gedung Kantor Dinas Perumahan Rakyat Provinsi Papua Barat kembali digelar pada Jumat (7/3) di Pengadilan Negeri Manokwari Kelas I B.
Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Helmin Somalay, SH, MH, menghadirkan tiga saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Papua Barat, yakni Martha Heipon, Marinus Bonepay, dan Suryati.
Dalam kesaksiannya, Martha Heipon, selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), menegaskan bahwa pembangunan gedung tersebut telah rampung pada akhir 2017 dan bahkan telah siap digunakan.
“Kami para pegawai sudah sempat membersihkan dan menata ruangan kantor, namun karena Dinas Perumahan Rakyat Provinsi Papua Barat dilebur ke Dinas Pekerjaan Umum, gedung itu akhirnya tidak ditempati,” ujar Heipon.
Ia juga mengakui bahwa meski gedung telah selesai, aliran listrik saat itu belum terpasang. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa serah terima pekerjaan dari penyedia jasa, yakni PT Trimese Perkasa dengan KSO CV Maskam Jaya, kepada pemerintah daerah sudah dilakukan, disaksikan oleh sejumlah pihak termasuk terdakwa Bambang Pramujito.
Saksi kedua, Marinus Bonepay, menjelaskan bahwa perusahaannya, CV Maskam Jaya, hanya dipinjam pakai oleh terdakwa Bambang Pramujito dan konsultan pengawas Titus Eko Prasetyo. Ia juga menyebutkan bahwa terdakwa D.A. Winarta hanya bertindak sebagai penyandang dana bagi anaknya, Bambang Pramujito, dalam proyek tersebut.
Sementara itu, saksi Suryati, mantan Bendahara Dinas Perumahan Rakyat Papua Barat, menyatakan bahwa pencairan dana proyek sebesar Rp4 miliar lebih dilakukan 100% karena semua dokumen persyaratan, termasuk berita acara serah terima hasil pekerjaan (PHO) dan dokumentasi proyek, telah lengkap.
Dari keterangan para saksi, terungkap bahwa gedung tersebut sebenarnya sudah selesai dan layak digunakan. Namun, akibat perubahan organisasi perangkat daerah (OPD) saat itu, gedung tidak ditempati dan akhirnya terbengkalai. Tanpa perawatan dan pengamanan yang memadai, gedung mengalami kerusakan serta penjarahan fasilitas, yang kini menjadi bagian dari perkara dugaan tindak pidana korupsi tahap ketiga proyek pembangunan tahun 2017 ini.
Sidang ini semakin memperjelas fakta bahwa polemik proyek tersebut bukan hanya soal penyelesaian fisik, melainkan juga dampak dari kebijakan birokrasi yang berubah, yang akhirnya menyeret sejumlah pihak ke meja hijau.
(Udir Saiba)